Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi mantan Dirut Garuda, Emirsyah Satar. Alhasil, Emirsyah tetap dihukum 8 tahun penjara dalam kasus korupsi dan pencucian uang pembelian pesawat hingga pemeliharaan pesawat Garuda.
Kasus bermula saat Garuda Indonesia membeli sejumlah pesawat. Namun ternyata Emirsyah Satar mendapatkan suap dari pihak Rolls-Royce. Uang diputar Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo.
Atas hal itu, Emirsyah dan Soetikno dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan. Pada 8 Mei 2020, PN Jakpus menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Emirsyah karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Emirsyah juga diwajibkan mengembalikan uang korupsi ke negara senilai SGD 2,1 juta. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayar, asetnya akan disita oleh negara.
Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 17 Juli 2020. Vonis itu diketok oleh Wakil Ketua PT Jakarta Andriani Nurdin menjadi ketua majelis di perkara itu. Adapun anggota majelis adalah I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Jeldi Ramadhan, dan Anthon R Saragih.
Atas keputusan itu, Emirsyah Satar tidak terima dan mengajukan permohonan kasasi. Apa kata MA?
"Tolak," demikian bunyi amar kasasi yang dilansir website MA, Rabu (23/12/2020).
Vonis itu diketok pada Selasa (22/12) kemarin dengan ketua majelis Suhadi serta anggota Syamsul Rakan Chaniago dan Agus Yunianto.
Bagaimana dengan Soetikno? Nasibnya lebih mujur dibandingkan Emirsyah Satar. PN Jakpus menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada Soetikno. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding. Kasasi yang diajukan Soetikno juga kandas.
"Amar putusan JPU dan Terdakwa tolak," demikian amar putusan kasasi yang diketok Andi Samsan Nganro dengan anggota Ansori dan M Askin pada Senin (21/12) kemarin.
Sebelumnya, saat mengajukan kasasi, pengacara Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan menyatakan kliennya tidak bersalah.
"Ya Pak ES memutuskan untuk kasasi. Karena dirasa kurang adil. Misal kasus ini dari kasus DPA (Deferred Prosecution Agreement) di Inggris, ada 8 negara yang disebut. Tapi hanya di Indonesia jadi perkara. Lebih jauh lagi. PLN juga ada dalam DPA Inggris itu tapi KPK tidak usut. Jadi sep unequal before the law, ini pertanyaan juga," ucap Luhut.
"Bukan membela diri dengan menunjuk kesalahan orang lain. Lebih pada tidak ada perlakukan yang sama di depan hukum. Itulah sebabnya minggu lalu sudah menyatakan kasasi," imbuhnya.
(asp/ibh)