Tri Rismaharini resmi menjadi Menteri Sosial RI usai serah-terima jabatan dari Muhadjir Effendy, yang didapuk menjadi menteri ad interim. Dalam sambutannya, Muhadjir dan Risma kompak menyinggung penutupan Gang Dolly, sebuah pusat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara.
Mulanya, Muhadjir memuji pencapaian Risma yang ia sebut fenomenal. Salah satu pencapaian fenomenalnya adalah penutupan Gang Dolly.
"Beliau sangat menguasai masalah (sosial) karena beliau yang sangat fenomenal, membersihkan Surabaya dari kompleks-kompleks pelacuran, terutama pelacuran yang terbesar di Asia Tenggara, yaitu kompleks Dolly," ujar Muhadjir dalam acara sertijab Mensos yang disiarkan langsung oleh akun YouTube Kemensos RI, Rabu (23/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Risma curhat ketika Pemerintah Kota Surabaya menutup Gang Dolly. Menurutnya, menutup Gang Dolly adalah pekerjaan yang sangat berat.
"Saat nutup Dolly betapa beratnya, sudah diancam dibunuh, tiap sore itu ada ular datang ke rumah," ujar Risma.
Selain ancaman pembunuhan, Risma mendapatkan teror gaib, yakni orang sekitar merasa melihat seakan-akan rumah Risma kebakaran.
"Belum lagi polisi. 'Bu, rumahnya kebakaran.' Kita keluar (rumah), nggak apa-apa," lanjut Risma.
Ia juga kaget ketika ada seorang eks warga Gang Dolly menuntut Risma Rp 1 triliun. Meski begitu, Risma mengklaim cukup banyak warga Gang Dolly yang mendukungnya.
Setelah penutupan Gang Dolly, kata Risma, warga menjadi lebih bahagia. Warga menjadi lebih bebas beraktivitas.
"Sekarang orang Dolly betapa bahagianya mereka, yang dulu tidak pernah rasakan kebebasan itu. Dulu jam 5 sore harus masuk rumah, sekarang mereka bisa bermain, bisa belajar, jadi coba bayangkan kalau kita lakukan dengan sungguh-sungguh (bekerja), insyaallah (manfaat) kembali ke kita," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Risma bercerita, saat menjadi Wali Kota Surabaya, ia menampung hampir 1.300 orang dengan gangguan jiwa. Padahal, 98 persen di antaranya warga non-Surabaya.
Selain itu, Risma menjelaskan bahwa di Surabaya sudah tidak ada lagi anak jalanan.
"Boleh dicek, tidak ada pengamen di Surabaya, tidak ada anak jalanan, tidak ada pengemis, nggak boleh ngemis atau ngamen di Surabaya. Caranya gimana? Saya bayar dia ngamen di taman, kita bayar (dari) pemkot, tapi bukan di jalan, coba bayangkan jika di jalanan banyak pengemis, orang dari negara lain ngomong apa ke kita, coba bayangkan, itu bisa ya kita ajarkan bahwa mereka kalau mau dapat rezeki, ya harus kerja, bukan minta-minta," lanjut Risma.
(isa/imk)