Penolakan terhadap Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2020 terus berdatangan. Sebab, aturan yang melarang pendokumentasian itu dinilai menutup akses informasi publik.
"Sekadar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum," kata anggota Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) dari PBHI, Julius Ibrani dalam siaran pers yang diterima detikcom, Senin (21/12/2020).
Ikut menandatangani sikap di atas yaitu Dio Ashar dari IJRS, Asfinawati dari YLBHI, Sekar dari Elsam, M Afif dari LBH Masyarakat, Erwin Natosmal Oemar dari PIL-Net, dan Raynaldo Sembiring dari ICEL. Pasal 4 ayat 6 Peraturan MA No 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan menyebutkan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Sebelumnya, hal yang sama pernah diatur MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Dalam surat edaran tersebut, diatur ketentuan yang menyatakan:
Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
"Larangan ini (SE Dirjen) akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri," ujar Julius.
KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio, dan/atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik. MA harusnya justru menjamin hal itu.
"Khususnya dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan," cetus Julius.
Menurut KPP, izin baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu. Tidak hanya persidangan, namun pengadilan secara keseluruhan.
"Dalam hal ini, KPP memandang prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum," tegas Julius.
KPP juga mengingatkan, larangan ini juga berdampak terhadap kerja-kerja advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal. Selain itu, larangan ini akan berdampak bagi kerja-kerja pemberi bantuan hukum yang seringkali mengalami hambatan untuk mendapatkan akses keadilan di persidangan.
"Koalisi juga memahami bahwa diperlukan ketenangan bagi majelis hakim yang menyidangkan perkara untuk dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan hati-hati. Namun kami melihat ada cara lain yang dapat diberlakukan untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari memfoto, merekam, dan meliput persidangan," pungkas Julis.