Peneliti Soroti Pengaruh Partai Politik Terhadap Demokrasi di Indonesia

Peneliti Soroti Pengaruh Partai Politik Terhadap Demokrasi di Indonesia

Tiara Aliya Azzahra - detikNews
Senin, 14 Des 2020 01:11 WIB
Ilustrasi Fokus Nasib Pilkada Langsung (Andhika Akbaransyah)
Foto: Ilustrasi (Andhika Akbaransyah)
Jakarta -

Sejumlah peneliti alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyoroti efek dari keberadaan partai politik terhadap demokrasi di Indonesia. Bahkan, peneliti menyebut partai politik saat ini telah membajak demokrasi di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Dewan Penasihat PPIM UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam Diskusi Virtual Bersama Alumni HMI bertema "Quo Vadis Demokrasi Indonesia". Dalam pemaparannya, Komaruddin terlebih dahulu menjelaskan seberapa berkuasanya parpol khususnya di Negara Indonesia.

"Sekarang ini yang kuasa itukan parpol. Yang lahirkan ekskutif parpol, legislatif parpol. Sementara kita tahu semua parpol itu kebayakan nggak punya akar, politik mahal, duit tidak punya sementara ada juga tidak punya SDM yang qualified tapi mereka menikmati, sekarang menikmati dengan adanya kandidasi yang maju, jual saja perahu atau boarding pass dan dia kaya sekali," kata Komaruddin pada Minggu (13/12/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komaruddin menyebut parpol seringkali gagal dalam menyalurkan makna dari demokrasi. Mengingat, parpol memiliki tujuan tersendiri. Parpol kerap mendapatkan keinginannya dengan mengandalkan uang maupun kekuasaan.

"Tapi yang dikritik sebelumnya tadi, dia (parpol) membajak demokrasi. Demokrasi itu kan tujuannya dua yang nonjol, satu mendidik rakyat partisipasi. Kedua, berhasil rakyat akan melek demokrasi. Sekarang ini pendidikan demokrasi dengan kesadaran itu cukup berhasil tapi kemudian ketika itu tidak di bawa dengan parpol yang sehat maka yang ada kemudian caci maki bahwa ini demokrasi. Karena parpol itu gagal menangkap menyalurkan itu," tegasnya.

ADVERTISEMENT

Lantas, apakah benar parpol atau elite politik menjadi penyebab utama menurunnya demokrasi di Indonesia? Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memparkan hasil survei yang dilakukan oleh LSI Bersama Asian Barometer dan ISEAS-Yusof pada tahun 2016-2017.

Survey pertama dilakukan terhadap 508 responden yang merupakan anggota DPRD di Indonesia dan masyarakat biasa atau publik. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara atau tanya jawab.

Para responden diberikan pertanyaan diantaranya 'Apakah elite politik itu lebih orotier ketimbang publik?','Bagaimana elite politik dan publik memahami demokrasi?' serta 'Apakah sikap antidemokrasi terdistribusi pada seluruh elite politik atau ada perbedaan?'

Melalui hasil survei ini, Burhanuddin mengindikasi terdapat acara pandang yang berbeda antara elite politik dan publik dalam memaknai demokrasi. Di sisi lain, elite politik tak selalu menjadi biang kerok terjadinya regresi demokrasi.

"Argument selama ini menyatakan bahwa rekresi demokrasi kerjaan elit tidak seluruhnya benar. Dalam banyak hal publik juga kontribusi terhadap maraknya pengunduran demokrasi. Saya punya studi terkait publik kita bukan hanya illiberal tapi punya masalah serius misalnya studi menunjukkan publik mudah terkena hoax kemudian politik uang yang marak. Itu adalah fenomena illiberalisme demokrasi di kalangan warga jadi yang kebetulan dimanfaatkan oleh politik kita," ucapnya.

"Kesimpulan kedua dengan studi ini saya tidak ingin mengatakan elite politik kita bersih dari penyakit anti demokrasi, yang ingin saya katakan yang paling bertanggung jawab terhadap rekresi demokrasi tapi di sisi lain kita punya PR tak mudah karena warga kita harapkan sebagai penantang atau sebagai pihak menghentikan justru turut menyumbang maraknya sekresi demokrasi," sambungnya.

Peneliti Sebut Indonesia Alami Pemerosotan Demokrasi

Peneliti mengatakan saat ini Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dalam 22 tahun terakhir mengalami penurunan tajam. Apa yang menyebabkan IDI mengalami pemerosotan?

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Cipto mengatakan bahwa sistem demokrasi kita sangat berpengaruh dengan tekanan yang datang dari luar Indonesia. Hal ini dipaparkannya dalam Diskusi Virtual Bersama Alumni HMI bertema "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" pada Minggu (13/12/2020).

"Jadi kita ini demokrasi tergantung pada tekanan luar. Begitu tekanan eksternalnya dikurangi otomatis demokrasi kita ambruk. Nah, ini yang kita lihat karena sejak hakim tunggal kita tidak punya model cukup saya nggak percaya Indonesia punya upaya demokrasi. Akibat dari lemahnya demokrasi kita ini kita lihat mayoritas anggota DPR mendukung rezim dari kritik terhadap pemerintah bahkan tak dukung KPK dalam berantas korupsi," kata Bambang.

Tak hanya itu, berdasarkan Laporan Tim Nasional Percepatan Pengurangan Kemiskinan (TNPPK) kepada wakil presiden pada Oktober 2019, kemunduran demokrasi ini berdampak pada sejumlah hal. Terutama, menyangkut kualitas sumber daya manusia (SDM).

"1 persen orang kayak menguasai 50 persen aset nasional 26,42 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan yakni 400 ribu perbulan, Sistem Pendidikan score PISA program for international student assessment 73 mat, 74 reading, 71 sains. Score ini di bawah Singapore, Malaysia Thailand, Brunei," ungkapnya.

"Mayoritas SDM lulusan SD ke bawah yakni 40 persen, lulusan PT 10 persen. Namun, proyek utama bukan mengupgrade SDM tapi membangun ibu kota baru, Human capital index jauh di bawah negara tetangga," lanjutnya.

Di sisi lain, Ketua Prodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya, Wawan Sobari membenarkan terkait penurunan IDI dalam 11 tahun terakhir ini. Namun, penurunan ini hanya terjadi pada indeks tertentu.

"Sebenarnya kalau kita lihat hasil pengukuran demokrasi kita meningkat dalam 11 tahun pengukuran terakhir meskipun diwarnai tren penurunan tapi ternyata naik ke 74.92 di tahun 2019. Tapi kemudian kalau lebih detail melihat IDI, itu ternyata memang tidak semua aspek demokrasi yang menjadi dasar pengukuran itu naik. Terutama yang turun itu indeks kebebasan sipil. Sementara, dua aspek lain meningkat," ucap Wawan.

Dalam data perkembangan aspek IDI periode 2009-2019, setidaknya ada tiga indeks yang dinilai meliputi kebebasan sipil, hak-hak politik dan Lembaga demokrasi.Terlihat dalam indeks hak-hak politik hanya ada satu aspek yang alami penurunan terkait pemilu yang bebas dan adil. Begitu pula dengan indeks Lembaga demokrasi yang ada satu aspek alami penurunan mengenai peran birokrasi pemerintah daerah.

Sementara itu, kebebasan sipil ada tiga aspek yang alami penurunan yaitu:

1. kebebasan berkumpul dan berserikat yang alami perubahan rata-rata -1,22

2. kebebasan berpendapat dengan rata-rata -1,79

3. kebebasan berkeyakinan dengan rata-rata -0,69.

Halaman 2 dari 2
(dwia/dwia)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads