Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyindir kelompok yang selalu berorientasi terhadap jumlah massa. Jimly mengatakan demo berjilid-jilid lebih banyak membawa mudarat apalagi jika perkumpulan itu memelihara kebencian.
Pernyataan itu disampaikan Jimly saat menghadiri forum silaturahmi kebangsaan di Grand Hotel Sahid Jaya, Sabtu (5/12/2020). Jimly awalnya mengajak semua pihak untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
"Jadi sudahlah kita harus membantu supaya cinta negara, cinta Tanah Air semangat kebangsaan empat pilar itu NKRI, pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan UUD ini sudah kita putuskan di Undang-Undang Dasar 45 Pasal 37. Coba dicatat pasal 37 itu ketentuan mengenai tata cara mengubah UUD, jadi UUD boleh diubah tapi ayat 5 dari pasal 37 menegaskan khusus mengenai NKRI tidak dapat diadakan perubahan. Makanya NKRI dikatakan harga mati itu begitu. Tidak boleh diubah lagi," kata Jimly.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jimly lantas bicara mengenai perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat. Menurut dia, setiap orang yang berbeda pendapat bisa jadi karena sumber informasi yang berbeda.
"Ada tiga sebab orang berbeda pendapat, satu orang berbeda pendapat karena datanya beda karena informasinya berbeda, coba ketemu samakan informasi. Kalau sumber informasinya datang sama, Insya Allah perbedaan selesai. Itu satu yang kedua orang berbeda pendapat karena kepentingan, kepentingan itu ada aja itu kepentingan ekonomi kepentingan jabatan, iblis ini banyak sekali di mana-mana menggoda kita ini," ujar dia.
"Iblis kekuasaan, iblis kekayaan, itu kan, biasa itu. Dan wajar semua manusia itu punya kepentingan, Nah tapi kalau ketemu mari kita bicara kepentingan besar kepentingan yang lebih luas insya Allah kalau bisa mencari titik temu," sambung dia.
Selanjutnya, kata Jimly, orang bisa berbeda pendapat karena perspektif atau sudut pandang yang berbeda. Dia mencontohkan seorang pejabat dengan rakyat.
"Kalau sudut pandang orang dari atas dan orang dari bawah nggak akan ketemu pak. Jadi pejabat dari atas melihat ke bawah rakyat ke bawah melihat ke atas tidak mungkin bisa ketemu. Karena masing-masing persepsi kebenaran adalah persepsi diri sendiri," tutur Jimly.
Simak halaman selanjutnya soal demo berjilid-jilid banyak mudarat.
"Tapi dengan syarat tiga hal ini karena mungkin mempertemukan kita mendamaikan merekonsiliasi mendamaikan gitu ya dengan syarat tidak diwarnai oleh kebencian dan permusuhan. Kalau di dalam batin sudah ada kebencian permusuhan dah susah ketemunya, coba saya ketemu pura-pura saja," tutur dia.
Mantan Ketua MK itu berharap umat bisa didamaikan lewat kepemimpinan MUI yang baru di bawah Ketua Umum Miftachul Akhyar. Setelah itu, barulah Jimly menyinggung soal kelompok yang mengedepankan soal jumlah massa.
"Ya mudah-mudahan di kepemimpinan Pak Kiai di Majelis Ulama Indonesia membangun suasana yang lebih menenangkan, sekaligus kita juga mendorong umat supaya jangan lagi lah atau mulailah berpikir, jumlah jemaahmu penting sekali, tapi itu bukan segala-galanya," kata Jimly.
Jimly mengatakan pengumpulan jemaah dalam jumlah besar itu memang bagus. Namun, kata dia, demo berjilid-jilid lebih banyak mudaratnya.
"Jangan lagi orientasi banyak-banyakan jumlah, misalnya ngumpulin jemaah satu juta, itu bagus, penting, tapi mudaratnya banyak, demo apalagi kalau berjilid-jilid. Iya itu mudaratnya banyak maka kita harus melembagakan dakwah secara resmi. Jangan lagi pakai berjilid-jilid, apalagi misalnya reuni ini, reuni ini, itu kan memelihara kebencian dan permusuhan. Jadi saran saya kepada organisasi-organisasi Islam kalau bisa diubahlah itu orientasi reuni, reuni ya yang orientasi jumlah," imbuh dia.
Jimly kemudian mengingatkan mengenai sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia. Beda dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintah presidensil tidak bisa diganti di tengah jalan.
"Dan begini saudara, ini kan kita sudah sepakat membuat sistem pemerintahan presiden, presiden kita itu dipilih langsung oleh rakyat 5 tahunan. Beda dengan sistem parlementer, kalau sistem parlementer itu bisa di tengah jalan diganti, dibubarkan pemerintahannya atau parlemennya lalu ke pemilu lagi. Tapi kalau dalam sistem presiden itu fix term setiap presiden itu diberi kesempatan 5 tahun. Suka tidak suka, kecewa tidak kecewa, ya kita tunggu 5 tahun ke depan 3,5 tahun lagi, dekat nggak lama," beber dia.