Revolusi Prancis pada 1789 bukan hanya meruntuhkan sistem monarki menjadi republik. Juga meruntuhkan sistem praktik negara Agama, ketika Raja diangkat dan diberkati, serta kebijakan negara dipengaruhi gereja.
Pasca Revolusi Prancis, menurut pakar politik Mahmud Syaltout, muncul semangat Laïcité yang kerap diterjemahkan sebagai Sekularisme atau Abanganisme. "Jadi Laïcité itu pada mulanya justru anti gereja, anti nasrani, anti mayoritas. Kalau dianggap seolah anti islam, itu keliru," papar Mahmud dalam Blak-blakan di detik.com, Senin (2/11/2020).
Laïcité merupakan istilah Prancis yang paling susah dipahami dan paling sering disalahpahami. Laïcité, kata Mahmud Syaltout, berasal dari kata laïc (m) atau laïque (f), yang artinya awam, orang biasa, rakyat jelata. Lawannya adalah clérical, orang alim, romo, imam, elit gereja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, semangat laïcité ini harus dipahami sebagai prinsip beragama orang awam, rakyat kebanyakan, para republikan, bukan beragama para romo," katanya.
Merujuk semangat tersebut, setiap individu ketika di ruang publik angan sok-sokan tampak relijius, alim atau sangat gerejawi dengan menunjukan simbol-simbol keagamaan dalam atribut pakaian dan lainnya. Bila nekad menampilkan simbol kealiman di ruang publik, dia akan dipancung dengan pisau guillotine.
"Jaman itu, orang pakai anting-anting salib di ruang publik ya kena Guillotine! Bahkan pakai kalung bertuliskan "Christine" akan bernasib sama. Serem banget lah," ujar doktor bidang Hukum, Manajemen, dan Hubungan Internasional dari Sorbonne itu.
Dalam perjalanannya, praktik penerapan prinsip laïcité semacam itu bikin resah. Pada 1905 dibentuk UU atau Loi 1905 tentang Laïcité untuk mengatur praktiknya di masyarakat guna memberikan kepastian hukum.
(deg/jat)