Mantan Direktur Penanggulangan Penyakit Menular WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menepis anggapan lembaganya plinplan terkait kebijakan lockdown. Sejak 13 Mei lalu, WHO telah mengingatkan sejumlah negara bahwa penerapan lockdown bukan segalanya. Langkah itu bukan senjata pamungkas yang akan mengatasi pandemi COVID-19, juga tak mesti dilakukan oleh semua negara.
"Saya heran kenapa dikatakan WHO plinplan dan menjadi viral. Padahal sejak 13 Mei WHO sudah mengingatkan soal lockdown yang dilakukan sejumlah negara," kata Tjandra Yoga dalam program Blak-blakan di detikcom, Jumat (30/10/2020).
Baca juga: Musuh Industri Rokok Pensiun dari WHO |
Ia lantas memberikan tautan berita 13 Mei 2020 dari www.weforum.org dengan judul, 'WHO officials warn against 'magical thinking' regarding lockdowns-COVID-19 briefing'. Di situ, Dr Maria Van Kerkhove sebagai Kepala Teknis WHO memaparkan kesalahpahaman yang dilakukan sejumlah negara terkait lockdown. Kebijakan itu seolah harus dengan menutup semua fasilitas publik dan membatasi pergerakan warga secara ketat dan meluas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak mesti seperti itu. Tak semua negara perlu menutup semua fasilitas umum," kata dia.
Baca juga: Blak-blakan Vaksin Corona Jangan Seperti DBD |
Faktanya, beberapa negara yang tetap membuka tempat-tempat kerja, bar, bahkan klub malam, berhasil mengendalikan angka sebaran virus Corona. Seperti telah dipaparkan pada Maret, ada enam pendekatan komprehensif utama dalam menangani pandemi COVID, seperti pengujian, penelusuran, dan menjaga jarak sosial. Untuk lockdown, tergantung kondisi masing-masing negara dengan memperhatikan aspek sosial.
"Tapi banyak negara yang mengira lockdown sebagai Langkah ajaib yang dapat serta-merta mengatasi pandemi," kata Michael J. Ryan, Kepala Direktur Eksekutif WHO untuk Program Emergensi Kesehatan.
Simak video 'WHO: Lockdown Bisa Dihindari Jika Semua Orang Ambil Peran':
Kemudian pada 3 Agustus, kata Prof Tjandra Yoga, WHO melalui Maria Van Kerkhove kembali menegaskan bahwa lockdown tak direkomendasikan. Kebijakan itu hanya diperlukan bila tingkat penyebaran COVID naik dengan cepat. Tapi WHO berharap lockdown secara penuh oleh sebuah negara tak lagi dilakukan karena biaya terlalu mahal.
"Tapi anehnya di media kita isu soal lockdown ini seolah baru dan viral dalam beberapa hari ini," kata Tjandra Yoga. Karena itu, meskipun dirinya telah pensiun dari WHO sejak 1 Oktober lalu, tetap merasa punya kewajiban moral untuk memberikan informasi yang akurat. "Kita tak boleh merasa Lelah karena misinformasi dan disinformasi biasanya berulang kali muncul," imbuhnya.