Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit yang perlu dilakukan tak kecuali untuk COVID-19. Di masa lalu, pembuatan vaksin butuh waktu bertahun-tahun. Tapi, seiring perkembangan teknologi dan kondisi darurat di masa pandemi, pembuatan vaksin Corona sangat mungkin terwujud dalam waktu relatif lebih cepat. Sekalipun demikian, kata Prof Tjandra Yoga Aditama, tetap ada dua kaidah umum yang harus dipenuhi, yakni keamanan dan efektivitas.
"Untuk menjamin dua kaidah itu ya lewat uji klinis beberapa tahap. Memang dalam situasi darurat seperti sekarang ini dibuka peluang penggunaannya untuk kalangan terbatas (emergency use authorization) dengan syarat tertentu. Kalau ini belum tercapai yang jangan (dulu) dipakai," kata Prof Tjandra Yoga kepada Tim Blak-blakan detik.com, Kamis (29/10/2020).
Pada awal Oktober, dia baru saja pensiun sebagai Direktur Penanggulangan Penyakit Menular WHO untuk kawasan Asia Tenggara yang berkantor di New Delhi, India. Sebelumnya, ahli paru FK-UI itu pernah menjadi Dirjen Perlindungan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dan Kepala Badan Litbang Kemenkes RI.
Walaupun uji klinis aman, hasilnya bagus, dan mendapat izin produksi, dalam perjalanannya kelak bukan tidak mungkin ada hal lain yang belum terdeteksi. Apalagi bila diberikan kepada jutaan orang. Prof Tjandra Yoga merujuk kasus vaksin dengvaxia untuk mencegah demam berdarah dengue (DBD) pada 2017 di Filipina.
Pemberitaan berbagai media waktu itu mengabarkan, vaksin dengvaxia sudah lulus uji klinis, tanpa emergency use authorization, hasilnya bagus. Vaksin itu kemudian diproduksi oleh Sanofi Pasteur asal Prancis dan diberikan di berbagai negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia vaksin tersebut mendapat izin edar dari Badan POM pada 31 Agustus 2016. Tapi pada akhir November 2017, Sanofi Pasteur mengumumkan hasil penelitian lanjutan bahwa dengvaxia justru memicu infeksi dengue lebih parah pada orang yang belum pernah terinfeksi virus dengue. Filipina yang waktu itu sudah menjalankan vaksinasi secara nasional sejak 2016 akhirnya menghentikan program tersebut dan menuntut Sanofi Pasteur.
Pada bagian lain, Tjandra Yoga mengisahkan pengalaman dan pengamatannya terkait penanganan pandemi COVID 19 di 11 negara Asia Tenggara, khususnya penerapan lockdown di India. Diiringi tawa berderai, dia juga mengungkapkan perbedaan biaya uji PCR di India dan Indonesia, serta jomplangnya harga obat-obatan di sana dan di Tanah Air kita. Kenapa bisa demikian? Simak paparannya dalam program Blak-blakan di detik.com.
(ddg/jat)