Gus Nur ditangkap polisi karena diduga menyebarkan ujaran kebencian dan menghina Nahdlatul Ulama (NU). Di sisi lain, kebebasan berbicara dijamin undang-undang. PBNU menilai kebebasan berbicara ada syaratnya.
"Ciri demokrasi memang bebas berbicara, tidak boleh ada pembicaraan yang dilarang. Tapi, syaratnya, tidak menyinggung orang lain dan tidak mengandung ujaran kebencian," kata Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlowi kepada detikcom, Sabtu (24/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gus Nur ditangkap polisi lantaran ucapannya mengenai NU yang dia ibaratkan seperti bus umum dengan sopir mabuk, kondektur teler, kernet ugal-ugalan, dan penumpang kurang ajar semua. Meski bebas bicara, Indonesia sebagai negara demokrasi punya aturan. Menurut Masduki, posisi demokrasi di Indonesia lebih rendah daripada undang-undang.
"Bebas itu tidak sebebas-bebasnya. Demokrasi itu berdiri di bawah hukum, tidak boleh berdiri di atas hukum. Kalau demokrasi berdiri di atas hukum, hukum diacak-acak," kata Masduki.
PBNU bersyukur karena Gus Nur ditangkap. Gus Nur dianggap telah meresahkan.
Indonesia punya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kemerdekaan menyampaikan pendapat juga bagian dari UUD 1945 serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
Detik-detik Gus Nur Dijemput Polisi:
Dalam tayangan akun YouTube MUNJIAT Channel, Gus Nur yang sedang berbincang dengan Refly Harun menyampaikan kalimat berikut:
"Saya ibaratkan NU sekarang itu seperti bus umum. Sopirnya mabuk, kondekturnya teler, kernetnya ugal-ugalan. Dan penumpangnya itu kurang ajar semua. Merokok, nyanyi juga, buka-buka aurat juga, dangdutan juga," kata Gus Nur atau Suri Nur Raharja dalam video yang diunggah pada 16 Oktober itu.
Gus Nur juga menyebut sejumlah nama seperti pegiat media sosial Permadi Arya atau Abu Janda, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, hingga Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj.
GUS Nur ditangkap polisi atas laporan dari NU. Dia dianggap menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan bermuatan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) dan penghinaan.