Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan maraknya keterlibatan para pelajar dalam aksi-aksi unjuk rasa (demonstrasi) di tanah air. Keterlibatan mereka seolah menjadi tren dengan tingkat keterlibatan yang meluas. Bila pada tahun lalu yang terlibat cuma pelajar STM dan SMK, dalam unjuk rasa menentang Omnibus Law Cipta Kerja, terlibat pula pelajar SMA, SMP, dan SD.
"Demonstrasi adalah satu mekanisme yang tidak aman bagi anak. Segala kegiatan yang berpotensi terjadi kekerasan harus dijauhkan dari anak-anak," kata Ketua KPAI Susanto dalam program Blak-blakan detikcom, Senin (19/10/2020)
Sejatinya setiap aksi unjuk rasa tidak melibatkan anak anak. Tokoh politik dan masyarakat, para guru, serta orang tua diharapkan terlibat aktif dalam mencegah anak-anak ikut berunjuk rasa. Sebab demonstrasi merupakan mekanisme penyampaian pendapat yang berisiko sehingga tidak aman dan rentan bagi keselamatan jiwa anak terlebih di masa pandemi seperti ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khusus kepada para guru dan orang tua KPAI berharap mereka mengawasi betul aktivitas anak -anak mereka agar tidak terlibat lagi dalam aksi unjuk rasa yang diprediksi akan kembali terjadi pada 20-23 Oktober ini. Para guru diharapkan bisa memotivasi para murid agar tetap fokus dan semangat belajar secara daring agar tidak mudah terpapar provokasi unjuk ikut berdemonstrasi.
"Tentu kepada para pelajar juga harus diberi pengertian secara persuasif bahwa akan ada masanya mereka boleh berunjuk rasa, tapi tidak sekarang apalagi di masa pandemi," ujar Susanto.
Dari temuan lapangan yang dikumpulkan KPAI aksi demonstrasi yang berakhir ricuh pekan lalu diikuti sejumlah pelajar dari beberapa daerah. Selain DKI Jakarta, ada yang datang dari Banten dan Jawa Barat.
Mabes Polri mencatat setidaknya ada 806 pelajar yang tertangkap mengikuti demo di DKI Jakarta dan sekitarnya."Dari pemeriksaan yang dilakukan mayoritas pelajar hanya ikut-ikutan tanpa mengetahui apa yang mereka perjuangkan," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam jumpa pers, 14 Oktober 2020.
Menyampaikan pendapat, menurut Susanto, memang dilindungi undang undang. Tapi tetap harus dilakukan melalui mekanisme yang aman, saluran yang tepat, dan tidak berisiko bagi keselamatan anak-anak. Keterlibatan para pelajar yang nota bene masih di bawah umur, dia melanjutkan, akan berisiko. Susanto merujuk data Kementerian Kesehatan bahwa ada 100 anak terpapar virus corona setiap hari.
Berkaca dari unjuk rasa menentang Omnibus Law, kata Susanto, para pelajar yang terlibat anrara lain karena terprovokasi pesan-pesan di media sosial.
"Masifnya ajakan dan provokasi dengan narasi yang kurang tepat sehingga membangkitkan semangat anak-anak kita terjun ke lapangan. Itu harus menjadi perhatian serius kita semua," imbuh Susanto.