Polisi menangkap seorang netizen bernama Muhammad Basmi karena menghina Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal Purnawirawan Moeldoko. Mengenai hal tersebut, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengingatkan kebebasan berpendapat dalam demokrasi ada batasannya.
"Ada keteraturan sosial, ketertiban publik, ketertiban publik yang harus dijaga. Indonesia itu menurut saya negara paling bebas di dunia. Di Singapura, di Malaysia, jangan mimpi bisa seperti di Indonesia. Di Jepang, tidak ada yang seenak-enaknya," kata Hermawan kepada wartawan, Minggu (18/10/2020).
Hermawan mengatakan di negara-negara maju, demokrasi diterapkan namun bukan berarti seorang warga bebas berucap seenaknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Coba lihat penegak hukum di negara maju. Ambil contoh di Jepang, di negara-negara demokrasi lainnya tidak ada yang sebebas Indonesia. Di Indonesia orang memaki-maki boleh, ngatain apa saja nggak ada kontrol, yang bau SARA dan sebagainya. Kalau di negara-negara maju malah nggak boleh seperti itu," jelas Hermawan.
Menurut Hermawan, penggunaan media sosial di Indonesia tergolong bebas. Tindakan kepolisian, lanjut Hermawan, diperlukan untuk menjaga keteraturan sosial.
"Sosmed yang kaya kita ini hanya ada di Indonesia, nggak ada di negara lain sosmed seenak-enaknya, secara personal memaki-maki gitu. Kalau penegakan hukum itu dibilang represif, orang (yang menyebut penegak hukum represif) itu nggak pernah pakai internet lihat kehidupan di luar negeri," tutur Hermawan.
"Tindakan polisi ini untuk menertibkan, menjaga keteraturan sosial. Demokrasi itu ada batasan-batasannya, dan jauh lebih ketat batasannya kalau di negara-negara maju. Sosmed itu kalau digunakan untuk hal-hal negatif, (pemilik akun sosmed) bisa ditangkap, " sambung Hermawan.
Hermawan menyebut semestinya platform media sosial juga berkontribusi dalam mengontrol penggunanya. Hermawan menyebutkan dampak dari kebebasan bermedsos yang tak terkontrol.
"Kontrol itu juga sebenarnya harus dilakukan oleh platformnya. Di Indonesia, kalau platform medsosnya begitu, malah dikata-katain netizen Indonesia," ucap Hermawan.
"Dampaknya misalnya, sekarang gini misalnya, ada orang ribut satu sama lain. Yang satu punya temen 100 orang, digalang temennya yang 100 ini untuk bully terus musuhnya kaya gitu, apa yang terjadi? Itu yang dinamakan demokrasi? Bukan. Demokrasi bukan begitu. Demokrasi tu ada batasan-batasannya," tandas Hermawan.
Sebelumnya, Muhammad Basmi sebelumnya ditangkap di kawasan Koja Jakarta Utara, pukul 05.10 WIB tadi. Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo membenarkan penangkapan tersebut.
"Benar," kata Listyo kepada wartawan, pada Minggu (18/10).
Basmi, dilihat dalam unggahannya di Facebook menyebut Moeldoko sebagai eks Jenderal yang bermental komprador. Atas dasar itu, Basmi dijerat dengan tindak pidana Ujaran kebencian (SARA) Pasal 28 ayat 2 UU ITE, dan atau penghinaan Pasal 207 KUHP.
"Pemilik akun Facebook Muhammad Basmi melakukan penghinaan terhadap Moeldoko dan Polisi," ujar Dirtipidsiber Bareskrim Brigjen Slamet Uliandi, menambahkan.
Saat ini Basmi sudah dibawa ke Dittipidsiber Bareskrim Polri. Barang bukti yang diamankan antara lain satu unit HP, satu SIM card, dan satu akun Facebook Muhammad Basmi.
Tonton juga 'Ini Alasan Mengapa UU ITE Disebut-sebut Sebagai "Pasal Karet"':
(aud/fjp)