Omnibus law UU Cipta Kerja memunculkan banyak penolakan hingga membuat demo berujung ricuh. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengungkap pemerintah masih bisa mengakomodasi aspirasi dari berbagai kalangan karena saat ini tengah menyusun aturan turunan dari omnibus law.
"Masih terbuka. Setidaknya akan ada 35 peraturan pemerintah (PP) dan lima peraturan presiden (perpres) yang disiapkan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja," ujar Moeldoko dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/10/2020).
Moeldoko mengungkap aspirasi buruh dan pekerja masih dapat diakomodasi melalui PP dan perpres tersebut. Nantinya Menaker Ida Fauziyah akan memberikan akses untuk menampung aspirasi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja masih memberikan kesempatan dan akses kepada teman-teman pekerja dan buruh untuk ikut memikirkan bagaimana mereka menanggapi ini nantinya. Bagaimana instrumen ini bisa diandalkan sebagai penyeimbang," sebut Moeldoko.
Mantan Panglima TNI ini juga berbicara soal banyaknya pandangan yang menyebut UU Cipta Kerja merugikan. Padahal, menurut Moeldoko, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru seluas-luasnya.
"Kita mengupayakan ada jaminan lebih baik tentang pekerjaan, jaminan pendapatan lebih baik, dan jaminan lebih baik bidang sosial. Itu poin yang penting," jelasnya.
"Coba bayangkan, sampai saat ini ada 33 juta orang yang mendaftar menjadi peserta Kartu Prakerja. Betapa besar kebutuhan lapangan kerja saat ini. Melalui UU Cipta Kerja ini, membuka kesempatan yang luar biasa bagi pengusaha kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi," sambung Moeldoko.
UU Cipta Kerja disebut memudahkan pengusaha kecil dan menengah mengurus perizinan yang selama ini berbelit. Dengan adanya omnibus law, perizinan hanya perlu dilakukan lewat satu pintu saja.
"Sekali saja! Jadi jangan buru-buru komplain berlebihan padahal belum memahami penuh isi dan substansi versi terakhir UU Cipta Kerja ini," tuturnya.
Moeldoko menegaskan kebijakan melalui UU Cipta Kerja diarahkan untuk menghadapi kompetisi global. Ia menyinggung selama ini masyarakat sering mengeluhkan pelayanan birokrasi yang berbelit dan menyulitkan.
"Masyarakat sering mengeluhkan pelayanan birokrasi yang lamban, berbelit, menyebalkan, belum lagi banyak regulasi yang tumpang-tindih. Ini membuat tidak adanya kepastian bagi siapa pun, termasuk investor. Peringkat Kompetitif (Competitiveness Index) Indonesia ada di bawah Malaysia dan Thailand," urai Moeldoko.
Dengan kondisi itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin memperbaiki keadaan.
"Saya tangkap mungkin Presiden malu melihat kondisi ini. Presiden ingin Indonesia bisa maju dalam kompetisi global," katanya.
"Perkembangan politik yang begitu dinamis di dalam negeri merupakan sebuah tantangan. Sementara kita tidak hanya menghadapi tantangan nasional, tetapi juga global. Ada fenomena global perubahan cepat, penuh risiko, dan kompleksitas yang luar biasa. Bahkan kadang-kadang mengejutkan," imbuh Moeldoko.
Tak hanya itu, tantangan akibat pandemi virus Corona (COVID-19) yang di luar perkiraan menjadikan Indonesia harus bergerak lebih cepat memperbaiki perekonomian. Moeldoko menyebut perlu ada langkah luar biasa agar Indonesia keluar dari masa krisis.
"Belum lagi saat ini muncul sebuah game changer, yaitu COVID-19, yang tidak kita perkirakan sama sekali. Game changer ini memorakporandakan sasaran yang sudah tersusun dan disiapkan. Kondisi ini membutuhkan pemikiran dan terobosan baru," sebut dia.
Moeldoko mengatakan UU Cipta Kerja merupakan penyederhanaan regulasi yang dibutuhkan. Dengan begitu, mau tidak mau birokrasi juga harus mengalami reformasi.
"Tapi, saat pemerintah mengambil langkah, yang terjadi di masyarakat justru paradoks. Kondisi ini harus kita luruskan," tegas Moeldoko.
Simak video 'Pakar: UU Cipta Kerja Praktek Buruk DPR Pasca Reformasi':