Mahkamah Agung (MA) tidak sepakat dengan penilaian ICW tentang pengelolaan situs Pengadilan Tipikor masih buruk. MA menyatakan sudah bekerja maksimal dalam membenahi keterbukaan, termasuk dalam bidang publikasi lewat situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).
"Dalam hal melakukan penilaian terhadap kinerja administrasi sebuah pengadilan tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat satu komponen kecil saja. Di mana yang dilakukan oleh ICW dalam hal ini hanya menilai dari SIPP Web saja, tanpa ada konfirmasi, tidak menyebutkan metode yang digunakan dan acuan hukum yang jelas. Hanya berdasarkan SK KMA 1-144/KMA/SK/I/2011 tidak mempertimbangkan ketentuan hukum lainnya," demikian siaran pers Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) MA yang diterima detikcom, Rabu (14/10/2020).
Menurut MA, apabila dikaji lebih dalam, dakwaan dan tuntutan bukan merupakan tanggung jawab pengadilan karena bukan produk yang dihasilkan oleh pengadilan, melainkan menjadi kewajiban kejaksaan dalam keterbukaan informasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain melalui SIPP, web yang belum dapat menampilkan dakwaan dan tuntutan lengkap karena terdapat keterbatasan pada jumlah karakter yang bisa ditampilkan. Hal ini sedang dikembangkan oleh Tim IT Mahkamah Agung yang akan selesai dalam waktu dekat. Dokumen Putusan Elektronik lengkap, dapat diakses publik pada situs yang berbeda yaitu Direktori Putusan Mahkamah Agung," ujarnya.
Untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses perkara pada pengadilan, MA membuat keseragaman dalam penamaan SIPP Web, yaitu sipp.pn-namapengadilan.go.id, sehingga masyarakat bisa dapat dengan mudah mengakses perkara Pengadilan Negeri manapun di seluruh Indonesia.
MA mengaku juga terlibat pada Sistem Peradilan Pidana Terpadu berbasis IT yang dibangun oleh Kemenko Polhukam, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kemenkominfo, Bappenas, dan LSN. Berdasarkan Surat Kemenpolhukam Nomor B.2638/HK/00.01/12/2019 tanggal 9 Desember 2019, MA memperoleh capaian 100 persen dalam implementasi SPPT-TI, kemudian Ditjen Pemasyarakatan dengan 68,83%. Disusul kejaksaan dengan 14,28%, dan kepolisian dengan 2,59%.
"Hal ini membuktikan Mahkamah Agung memiliki komitmen kuat dalam melakukan keterbukaan informasi khususnya dalam perkara pidana," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, ICW mengkritik website pengadilan pada Minggu (10/10) kemarin. ICW menilai pengadilan dalam menjalankan fungsi administrasi masih buruk. Hal ini terlihat dari total 32 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang masuk pemantauan, 11 di antaranya tidak membenahi laman website, khususnya bagian Sistem Informasi Penelusuran Perkara.
(asp/jbr)