Cuitannya Dianggap Hina Demo Buruh, Begini Penjelasan Staf Ahli Kominfo

Cuitannya Dianggap Hina Demo Buruh, Begini Penjelasan Staf Ahli Kominfo

Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Selasa, 13 Okt 2020 10:56 WIB
Tangkapan layar cuitan Henry Subiakto (tangkapan layar Twitter)
Foto: Tangkapan layar cuitan Henry Subiakto (tangkapan layar Twitter)
Jakarta -

Pernyataan Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kominfo Henri Subiakto soal demonstrasi buruh terkait omnibus law UU Cipta Kerja menuai polemik. Pernyataan di Twitter itu dianggap merendahkan buruh.

Mulanya Henry menulis di akun Twitter-nya bahwa buruh berdemo adalah hal logis. Menurutnya, kekuatan buruh terletak pada demonstrasi, bukan argumentasi.

"Buruh demo itu logis, karena kekuatan utama mereka memang di situ bukan di argumentasi. Tapi kalau ngaku intelektual ikut demo seperti buruh, berarti mereka lemah dalam argumentasi, dan enggan adu dalil dan konsep di MK (Mahkamah Konstitusi). Lebih senang atau menikmati budaya grudak gruduk," tulis Henry di akun @henrysubiakto, Senin (12/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Cuitan itu lantas mendapat respons beragam dari warganet. Ada yang menganggap cuitan Henry merendahkan buruh dan mengabaikan para intelektual terkenal yang juga pernah turun untuk berdemo.

Henry lantas memberikan penjelasan bahwa cuitannya itu dalam konteks membicarakan UU Cipta Kerja. Menurutnya, intelektual juga berdemo, tetapi dalam konteks memprotes rezim otoriter.

"Konteksnya dalam konteks kita menghadapi sebuah UU. Kalau buruh itu kekuatannya itu memang demo. Kekuatan utamanya. Artinya buruh itu bisa beragumentasi, debat dan lain sebagainya, tetapi kekuatan utamanya demo," ujar Henry saat dihubungi, Selasa (13/10).

"Kalau intelektual terkait menghadapi rezim otoriter dan terpanggil hatinya untuk turun ke jalan atau untuk menggulingkan otoritarianisme itu hal yang biasa," lanjutnya.

Dia juga mengenang pengalamannya ketika dulu pernah ikut berdemo. Namun, demonstrasi itu dia lakukan terkait dengan rezim otoriter.

"Dulu tahun 1998 saya juga turun ke jalan. Saya demonstran. Itu menghadapi otorianisme ya. Saat menghadapi perang teluk, saya ikut demo di masjid London sana," imbuhnya.

Dia menjelaskan bahwa untuk menghadapi UU mestinya argumentasi yang didahulukan. Karena, lanjutnya, Indonesia kini adalah negara demokrasi.

"Yang namanya kita saat ini menghadapi UU, yang mana UU adalah teks. Dan UU itu ditelurkan oleh negara yang terbuka demokrasi, Indonesia kan sudah demokrasi, ya cobalah bertanya kepada perwakilan-perwakilan Anda. Apakah mereka sudah mereka menerima belum," tuturnya.

Selain itu, dia menilai demonstrasi UU Cipta Kerja yang berujung rusuh ditunggangi. Dia mengatakan intelektual tak bisa begitu saja menolak UU tanpa argumentasi.

"Kita tahu, demonya jelas ditunggangi, ada anarkisme, apa bedanya intelektual dengan yang ditunggangi dan menunggangi. Jangan lupa UU Omnibus Law bukan semata-mata kontennya saja. Tetapi banyak yang belum melihat kontennya saja sudah menolak. Intelektual tidak bisa seperti itu," jelasnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads