"Saya berharap semua pihak bisa menahan diri. Gunakanlah cara-cara yang beretika dan sesuai budaya Indonesia," ujar Jazilul Fawaid, dalam keterangannya, Sabtu (10/10/2020).
Hal itu ia sampaikan usai Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada Gerakan Pemuda Ansor di Pandeglang, Kamis (8/10). Jazilul juga menanggapi aksi-aksi demo di berbagai kota yang berlangsung pada Kamis (8/10) terkait dengan UU Cipta Kerja. Aksi-aksi demo itu ada yang diikuti dengan pembakaran-pembakaran dan berujung rusuh.
Jazilul mengimbau aparat kepolisian untuk bertindak secara proporsional dalam menghadapi aksi demo itu. "Aparat kepolisian tidak boleh melampaui batas. Bertindaklah sesuai koridor hukum menghadapi aksi-aksi demo, jangan sampai bertindak di luar hukum. Tapi siapa yang melanggar harus didisiplinkan," ujarnya.
Jazilul juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat, tokoh buruh, tokoh mahasiswa untuk diajak berdialog dan bukan lewat pengadilan jalanan. Hal itu guna menghadapi situasi yang memanas setelah disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU).
"Sebab, sekarang sedang pandemi. Semua orang harus menjaga kesehatan. Pasar (ekonomi) juga sedang resesi. Kalau situasinya memanas seperti ini yakinlah penderitaan rakyat semakin bertambah," ujarnya.
Jazilul meyakini ada aktor-aktor di belakang aksi-aksi demo tersebut. "Hanya bagaimana aparat kepolisian bisa mengungkapnya. Tidak mungkin kegiatan seperti itu tanpa aktor. Tapi pola seperti itu, yaitu pola adu domba di lapangan, pasti akan merugikan rakyat banyak," ungkapnya.
Menurut Jazilul, setiap UU baik pada waktu pembahasan sampai pada saat pengesahan sering terjadi perselisihan dan perbedaan paham. "Perselisihan dan perbedaan itu harus produktif. Perbedaan adalah rahmat. Tapi jangan sampai perbedaan itu menjadi petaka," imbuhnya.
Jazilul mengatakan dirinya tidak ingin terjadi tarik menarik dalam Omnibus Law, sehingga terjadi perbedaan yang kuat di tengah masyarakat. Hal itu tentunya bisa berpotensi menimbulkan perpecahan.
"Ini sangat tidak produktif. Kalau mau ke jalur hukum, bisa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau mau berdialog, berdialoglah dengan baik-baik. Inilah Pancasila. Permusyawaratan harus diiringi dengan hikmat kebijaksanaan. Tidak ada ngotot-ngototan. Semua bisa didialogkan. Jika ada ketidakpuasan terhadap Omnibus Law bisa didialogkan," jelasnya.
Jazilul mengatakan persoalan yang muncul adalah hoax dan pihak-pihak yang menyatakan paling benar. "Saya setuju Omnibus Law ada kekurangannya. Tapi ketidaksempurnaan ini jangan disikapi dengan perpecahan atau permusuhan. Bangsa ini bangsa yang berbudaya," pungkasnya. (mul/mpr)