Setiap tanggal 5 Oktober diperingati sebagai HUT Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang tahun ini berusia 75 tahun. Sejarah mencatat organisasi militer ini pertama kali dipimpin oleh Soedirman yang pernah menjadi guru SD milik Muhammadiyah.
Soedirman lahir dari keluarga petani di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Saat remaja dia bergabung dalam gerakan kepanduan Hizbul Wathan, Muhammadiyah. Dalam organisasi ini Soedirman digembleng jadi pemuda yang disiplin dan tangguh.
Kala Jepang masuk pada 1942, mantan guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap ini masuk pendidikan perwira PETA di Bogor lalu kemudian jadi komandan PETA di Kroya. Saat dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada akhir Agustus 1945, Soedirman jadi Kepala BKR di Banyumas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat pemerintah mengeluarkan maklumat pendirian tentara nasional yang dikenal dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, Soedirman pun menjadi Panglima Divisi TKR Banyumas. Saat itu Presiden Sukarno menunjuk Soeprijadi sebagai Panglima TKR. Sementara Oerip Soemohardjo mantan perwira KNIL sebagai Kepala Staf Umum.
Hanya saja Soeprijadi yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar tak pernah muncul. Sebulan kemudian tepatnya 12 November 1945 diadakan pemilihan panglima baru dalam sebuah pertemuan di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta.
Dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 1 - Kenangan Masa Gerilya, Abdul Haris Nasution menyebutkan acara pokok dari konferensi TKR itu adalah untuk menggariskan suatu strategi TKR untuk menghadapi sekutu. Namun agenda pertemuan berkembang menjadi pemilihan panglima.
Soedirman yang baru berusia 29 tahun dan berpangkat kolonel akhirnya terpilih setelah mendapat dukungan dari tentara eks PETA. Dia langsung memimpin pertempuran Palagan Ambarawa melawan Inggris. Strategi Supit Urang digunakan untuk menyergap pasukan Inggris yang kemudian mundur ke arah Semarang.
Palagan Ambarawa kemudian dikenang menjadi salah satu kemenangan besar Soedirman. Beberapa pihak menyebut mundurnya pasukan Inggris dari Ambarawa itu bagian dari strategi karena operasi pembebasan sandera telah berhasil. Namun kiprah Soedirman di peperangan tersebut membuat Presiden Sukarno percaya akan kemampuannya.
Pada 18 Desember 1945, bertempat di Yogyakarta, Sukarno-Hatta melantiknya sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Dalam pidatonya, Sukarno mengatakan,"Kewajiban seorang Panglima Besar bagi kita berat sekali. Ia harus dapat mempersatukan semua kekuatan bersenjata menjadi satu kekuatan yang bulat dan efektif dalam satu komando."
Pada 27 Januari 1946, Presiden Sukarno kemudian mengubah nama organisasi militer menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kemudian berubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947 melalui Penetapan Presiden Nomor 24 Tahun 1947.
Dalam pernyataannya ketika HUT TNI ke-2, Jenderal Soedirman memberi pesan bahwa tentara Indonesia masih menuju kesempurnaan, kekuatan negara. Karena kesempurnaan kekuatan itulah jaminan kepada kemerdekaan. "Kekuatan itulah yang harus kamu jaga, kamu pelihara, jangan sekali-kali lemah, sebab lemahnya kekuatan itu berarti terancamnya kemerdekaan kita."
Saat Belanda melancarkan agresi militer II pada Desember 1948, seluruh pemimpin republik ditangkap. Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 dan memutuskan bergerilya. Diiringi pengawalnya, Soedirman yang dalam keadaan sakit melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju Jawa Timur lalu ke Jawa Tengah.
Soedirman berpindah-pindah daerah menghindari Belanda sekaligus menyusun siasat perlawanan 7 bulan lamanya. Selama bergerilya, Soedirman konsisten menolak perundingan dengan Belanda. Baru awal Juli 1949, Soedirman turun gunung menuju Yogyakarta. Panglima Besar Soedirman akhirnya wafat 29 Januari 1950. Dalam momentum HUT TNI ke-75, jasa dan perjuangan Soedirman patutlah kembali dikenang.
(pal/erd)