Gubernur Lemhanas Mengaku Pernah Dendam ke Pembunuh Ayahnya

Gubernur Lemhanas Mengaku Pernah Dendam ke Pembunuh Ayahnya

Deden Gunawan - detikNews
Rabu, 30 Sep 2020 14:53 WIB
Agus Widjojo
Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Saat Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dijemput paksa segerombolan tentara yang berafiliasi ke PKI, Agus Widjojo sudah remaja. Dia berusia 18 tahun, dan baru lulus SMA. Ketika beberapa hari kemudian mengetahui sang ayah telah dibunuh, dia mengaku menyimmpan dendam tersendiri.

"Sebagai reaksi cepat tentu saya dendam. Saya ingin tahu siapa yang membunuh, dan kenapa ayah harus dibunuh," kata Agus Widjojo yang sejak 2016 menjadi Gubernur Lemhanas dalam proram Blak-blakan di detik.com, Rabu (30/9/2020).


Tapi rasa dendam itu seiring perjalanan waktu memudar. Dia meyakini hal itu tak akan menyelesaikan persoalan dan hanya menguras energi. Sebagai putra sulung dia harus ikut menjaga adik-adiknya melanjutkan kehidupan. "Saya harus berdamai dengan diri sendiri," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu langkah yang ditempuhnya adalah dengan menjadi prajurit TNI. Pangkat tertinggi yang diraihnya adalan Letnan Jendera. Sebagai perwira, Agus Widjojo digolongkan jenderal pemikir yang membawa TNI (ABRI) keluar dari politik praktis. Setelah bertahun pensiun, sejak 2016 dia dipercaya menjadi Gubernur Lemhanas hingga saat ini.

Sebagai Gubernur Lemhanas dan saksi korban tragedi 30 September 1965, cita-citanya adalah mewujudkan rekonsiliasi antar anak bangsa di republik ini. Agus memprakarsai Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" di Hotel Aryaduta, April 2016. Bertahun sebelumnya, Agus terlibat aktif di dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang berisikan keturunan para korban dan pelaku sejarah 1965.

ADVERTISEMENT

"Masyarakat Indonesia belum siap untuk rekonsiliasi. Sekarang ini masih banyak yang menempatkan dirinya dalam tragedi 1965. Pertentangan 1965 masih ada dalam hati mereka sekarang," tutur Agus Widjojo.

Padahal untuk bisa dikatakan siap, dia melanjutkan, masyarakat harus mampu mengadakan refleksi melihat peristiwa 1965 dari sudut pandang Indonesia 2020. Agus juga menekankan bahwa rekonsiliasi bukan untuk menghukum atau menjustifikasi siapa salah dan siapa yang benar, melainkan untuk kepentingan bangsa agar bisa maju.

"Selama ini yang muncul masih merasa diri dan kelompoknya sebagai korban dan pihak lain yang salah, sebagai pelaku yang membuat dirinya menjadi korban," ujarnya.
Dia menghargai upaya-upaya rekonsiliasi di masyarakat akar rumput dengan melakukan aktivitas bersama. "Tapi ada yang missing dengan cara itu, yakni pencarian kebenaran," ujarnya.

Salah satu elemen rekonsiliasi paling pokok yang tak bisa dihindari, menurut Agus Widjojo, adalah pencarian kebenaran. Itu memerlukan perdebatan, menyakitkan, sekaligus menyembuhkan. Tanpa pencarian kebenaran ada kerugian bagi kita semua, yakni tidak tahu apa kesalahan kita bersama untuk menjadi bahan pelajaran di masa depan.

Tonton video 'Blak-blakan Negara dan PKI Harus Minta Maaf':

[Gambas:Video 20detik]



(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads