Manado -
Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) meminta agar Pilkada 2020 ditunda. Alasannya, Komite I DPD RI khawatir atas kasus virus Corona (COVID-19) yang masih terus meningkat di Indonesia.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri mengaku permintaan penundaan itu merupakan keputusan bersama melalui keputusan Komite l dan juga disepakati di Sidang Paripurna. Komite I, kata Djafar, tidak ingin Pilkada jadi penyebab munculnya klaster baru di Indonesia.
"Artinya bahwa ini juga melibatkan 105 juta pemilih, sehingga kekhawatiran kita akan timbul klaster baru, karena setiap TPS 500 orang pemilih," ujar senator DPD RI asal Sulawesi Utara itu, Senin (14/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertimbangan kedua, kata Djafar, adalah persoalan undang-undang mengenai tahapan Pilkada di Indonesia yang belum 'ramah' COVID-19. Misalnya, pemungutan suara melalui e-voting seperti di Korea Selatan.
"Dan mereka undang-undangnya sudah acceptable dengan protokol COVID-19. Di sana sudah e-voting, bisa e-mail, kita belum, jadi pemilukada kita tahun ini 2020 masih menggunakan undang-undang sama dengan pemilukada 2019, karena itulah sangat berbahaya," terang Djafar.
Selain itu, permintaan penundaan Pilkada 2020 itu didasari hasil survei dari berbagai lembaga survei di Indonesia. Djafar mengatakan, berdasarkan hasil survei, lebih dari 70 persen responden meminta Pilkada 2020 ditunda.
"Kemudian ini kan sudah epidemi global COVID-19, nah yang berikut adalah tentu WHO juga sudah menyatakan ini sudah epidemi global, sehingga memang harus ada penanganan khusus. UU Pilkada itu mengatakan bahwa apabila di daerah itu ada wabah atau musibah non-alami, maka pilkada itu bisa ditunda pada waktu berikutnya, artinya bahwa UU ini kita pakai dengan landasan bahwa hari ini COVID-19 semakin meningkat di Indonesia, dan karena merupakan epidemi global, ya Indonesia harus mengikuti," paparnya.
Djafar pun berharap pemerintah dapat menunda Pilkada 2020. Mengingat saat ini angka kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat.
"Dan karena itulah kami berharap bahwa pemerintah juga turut menyetujui bahwa supaya pemilukada ini bisa ditunda. Saya kira kita lebih mementingkan kepentingan masyarakat. Jadi kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dari pada kepentingan orang per orang. Saya kira kita bisa lakukan polling, ambil LSI lakukan polling di daerah yang melakukan pilkada pasti masyarakatnya menolak," kata Djafar.
"Sebab ini proyeknya besar, anggaran cukup besar hampir Rp 30 triliun, besar sekali, karena itulah ini tidak boleh main-main, alasan terakhir, kita berharap pemilukada harus serentak," sambungnya.
Alasan yang terakhir, kata Djafar, Komite I DPD RI berharap Pilkada 2020 itu berkualitas. Menurutnya, di tengah wabah COVID-19 ini, pilkada serentak menjadi tidak berkualitas. Sebab, Djafar mengatakan, akan banyak proses dan sosialisasi pilkada yang dilakukan secara online.
"Sementara kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, di Indonesia ini ada 12.548 desa yang tidak terakses internet, bagaimana sosialisasinya di sana, bagaimana cara masyarakat datang ke TPS. Saya khawatir jika masyarakat pemilih datang ke TPS itu kurang dari 50%, maka otomatis ini gagal pemilunya, terus kita buang anggaran begitu besar, luar biasa sementara kita mendapatkan pemilu yang tidak berkualitas, pemilu yang tahapan-tahapannya tidak optimal, pemilu yang sama dengan 2019," urai Djafar.
Karena itu, Djafar berharap kiranya pemerintah dan penyelenggara pilkada harus rasional. Dia berharap pemerintah memikirkan tentang nasib bangsa dan nasib warganya yang hari ini lebih fokus menyelesaikan epidemi COVID-19.
"Kita belum bebas, semakin hari ini semakin bertambah. Kemarin Erick Thohir mengatakan bahwa kemungkinan kita akan pecah di akhir Desember bisa 500 ribu. Dalam konteks inilah kami berharap mudah-mudahan ini bisa dipikirkan bersama artinya ketika ditunda tidak lagi mengulangi tahapan, tapi kita melanjutkan saja," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini