Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor bersama lapor COVID-19 yang melibatkan scientist Nanyang Technological University (NTU) Singapura melakukan survei persepsi risiko COVID-19 di Kota Bogor. Berdasarkan hasil survei tersebut ditemukan sebanyak 64% orang Bogor ternyata menganggap remeh virus yang pertama kali ditemukan di China ini.
Berdasarkan hasil survei kepada 21.544 responden/orang ini menemukan persepsi warga (risk perception) Kota Bogor terhadap COVID-19 berada di skor 3,212. Hasil ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan Jakarta, yakni 3,30 dan Surabaya 3,42.
Sementara untuk seberapa besar kemungkinan orang yang paling dekat terkena COVID-19, responden menyatakan 38,25% sangat kecil dan 26,25% menyatakan kecil. Sedangkan untuk seberapa besar kemungkinan orang di lingkungan tempat tinggal yang terkena COVID-19 ada 31,91% menyatakan sangat kecil dan 26,39% menyatakan kecil kemungkinannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa jadi yang merasa aman ini karena persepsi yang bergantung pada masalah pengalaman, dimana belum pernah melihat teman, keluarga atau orang di lingkungannya yang terpapar COVID-19. Ini yang menjadi masalah," ujar Profesor Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura Prof. Sulfikar Amir dalam keterangan tertulis, Minggu (13/9/2020).
Untuk lokasi penularan, indeks menunjukkan 30,16% menunjukkan kemungkinan besar akan tertular jika pergi ke pasar dan pusat perbelanjaan. Kemudian, transportasi umum menjadi yang tertinggi sebesar 30,80% dan hajatan di angka 30,34%. Yang menarik tempat ibadah dipilih responden sebagai lokasi yang relatif aman dari penularan yakni 27,04%.
Hasil survei berikutnya menunjukkan total 86% responden merasa yakin sembuh jika terpapar COVID-19. Antara ekonomi dan kesehatan, responden menyatakan 80,31% sama penting, dan 8,28% memilih kesehatan lebih penting dan ada 8,13% memilih ekonomi lebih penting.
"Mereka (responden) bisa menapikan faktor kesehatan dan bisa menjadi carrier Covid-19 kemana-mana," tutur Prof. Sulfikar Amir.
Ada sebuah penemuan yang menarik pada survey kali ini, ternyata sebanyak 9,99% rela tertular COVID-19 dan 2,7% sangat rela. Namun, sebanyak 35,71% responden menyatakan tidak rela untuk tertular COVID 19.
"Jika ditotal hampir 13% warga Kota Bogor rela tertular COVID-19 asal penghasilannya tidak terganggu," kata Prof. Sulfikar Amir.
Menanggapi hal ini, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan riset yang ada akan selalu menjadi landasan kebijakan Pemkot Bogor dalam mengambil keputusan. Tidak hanya untuk penerapan Pembatasan Sosial Berskala Mikro dan Komunitas (PSBMK), namun juga untuk kepentingan anggaran tahun 2021, sehingga diketahui mana yang lebih diprioritaskan.
"Dilihat dari jumlah sebaran, riset ini sangat ideal dan proporsional di semua wilayah. Yang paling mendasar dari survei adalah sebaran geografi dan kualitas sampel, dari seluruh kelurahan ada 12 yang kurang maksimal namun angkanya tetap bagus, secara overall (keseluruhan) respondennya cakap," kata Bima Arya.
Secara umum warga kota Bogor mengaku menjaga protokol kesehatan secara baik namun lebih rendah dibanding Jakarta dan Surabaya. Sementara, tingkat pengetahuan dan Informasi mengenai kondisi pandemi masih rendah dan harus terus ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber informasi yang dipercaya publik.
Kondisi sosial dan ekonomi cukup memprihatinkan dan memiliki dampak signifikan terhadap rendahnya persepsi risiko secara umum. Sikap warga kota Bogor terhadap tes COVID-19 juga cenderung rendah, kecuali untuk aspek contact tracing yang sudah mencapai nilai ideal.
Secara kolektif artinya warga Kota Bogor cenderung menganggap remeh risiko penularan COVID-19 dan CovidMood kota Bogor menunjukkan suasana psiko-sosial yang optimis. Kondisi ini memungkinkan penerapan pembatasan sosial secara lebih ketat.
(ega/ega)