Pengadilan Negeri (PN) Mataram melepaskan warga Lombok Utara, NTB, inisial H (28) yang menulis 'bidan sampah jalanan' di akun Facebook-nya. H menulis status itu karena kecewa terhadap layanan rumah sakit.
Hal itu tertuang dalam putusan PN Mataram yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Rabu (9/9/2020). Kasus bermula saat H menjenguk keluarganya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 25 Juli 2019.
H kecewa terhadap layanan rumah sakit dan menulis keluh kesahnya di akun Facebook-nya. Lalu H menulis:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mgkin bagi org lain kalian seorang bidan tp bagi sy pribadi kalian yang ada di poto ini adlh sampah jalanan yang datang RS untuk mencari uang yang berprofesi sebagai bidan yang gk tau etitut
Status H menuai reaksi masyarakat. Salah seorang pengurus yang mewakili organisasi bidan tidak terima dan melaporkan kasus itu ke kepolisian. H kemudian diproses hingga pengadilan.
"Menyatakan penuntutan terhadap Terdakwa tidak dapat diterima," ujar majelis yang diketuai Hendral.
Menurut majelis, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Di mana penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.
Majelis menyatakan delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat, yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan.
"Delik aduan merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian, dalam hubungan dengan pengertian delik aduan sebagai delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan," papar majelis yang beranggotakan Tenny Erma Suryathi dan Catur Bayu Sulistiyo.
PN Mataram menilai Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Oleh karenanya, unsur penghinaan haruslah ditujukan pada kehormatan atau nama baik seseorang sehingga delik tersebut merupakan dalam delik aduan absolut.
"Hal ini berarti berarti unsur penghinaan haruslah ditujukan pada kehormatan atau nama baik seseorang/individu tertentu," cetus majelis.
Dalam kasus di atas, pelapor yang mengadukan adalah salah satu pengurus organisasi bidan, sehingga bukan orang yang dimaksud dalam kata-kata status terdakwa.
"Selain itu, rumah sakit sebagai korban sebagaimana tertuang dalam dakwaan Penuntut Umum adalah lembaga bukan individu, sehingga tidak mempunyai kualitas sebagai korban sebagaimana tindak pidana Pasal 310 KUHP ataupun Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik," ucap majelis tegas.
(asp/mae)