Dua karyawan swasta di Jakarta, Andrew Sefufan Simamora dan Chyntia Pinky Jullianti menggugat UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menilai UU itu konstitusional karena mewajibkan setiap pekerja mengikuti program tabungan perumahan rakyat.
Keduanya mendaftar ke MK secara online pada Minggu (6/9) kemarin. Pasal yang digugat yaitu Pasal 7 (1) yang berbunyi:
Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya pekerja, pemberi kerja juga wajib menanggung pembayaran karyawannya. Pasal yang dimaksud yaiytu Pasal 17 (1) yang berbunyi: Simpanan Tapera dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
"Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2016 sepanjang kata 'wajib' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai bahwa APBN dan/atau APBD tidak turut serta mensubsidi pembiayaan perumahan rakyat," ujar pemohon yang tertuang dalam berkas gugatan sebagaimana dilansir website MK, Senin (7/9/2020).
Menurut Andrew-Chyntia, materi muatan di atas merupakan tindakan pelimpahan kewajiban wewenang beban tanggung jawa negara kepada warga negara. Selain itu, regulasi itu juga menunjukkan Negara melakukan pengingkaran terhadap tujuan negara yakni menyejahterakan rakyat.
"Dengan adanya Pasal 7 ayat 1 UU Tapera, maka setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi logis pemotongan hasil masyarakat sebesar 2,5 persen setiap bulannya guna membayar simpanan tapera untuk para pekerja, dan 3 persen bagi mereka yang melakukan usaha sendiri," ujar pemohon.
Hal tersebut dinilai mengingkari teori tabungan. Yaitu faktor utama seseorang untuk menabung ialah kesanggupan dari orang tersebut.
"Dalam UU Tapera, tidak ditemukan regulasi yang menyatakan bahwa seluruh pekerja yang menjadi Peserta Tapera akan mendapatkan tempat tinggal, walaupun Peserta Tapera sudah ikut menabung dalam Tabungan Perumahan Rakyat. Justru UU Tapera menambah ketidakpastian itu dengan opsi hanya berupa pengembalian dana yang telah disimpan dalam program Tabungan Perumahan Rakyat tersebut," cetusnya.
Seperti diketahui, pemerintah resmi menerbitkan PP 25 tahun 2020 mengenai program Tabungan Perumahan alias Tapera. PP yang ditekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini memastikan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) bisa beroperasi secepatnya.
BP Tapera disiapkan untuk membiayai rumah subsidi bagi para aparatur sipil negara (pegawai negeri sipil/PNS) dan karyawan dengan memotong gaji dan dimasukkan ke dalam iuran rumah subsidi tersebut. Akan tetapi, dalam pasal 38 PP ini dijelaskan bahwa pemanfaatan iuran ini hanya bisa dinikmati oleh peserta yang belum mempunyai rumah.
Lalu, untuk apa PNS atau karyawan yang sudah punya rumah, gajinya tetap dipotong buat iuran Tapera ini?
Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana Tapera Eko Ariantoro menjelaskan bahwa dasar pembentukan BP Tapera diambil dari asas-asas yang tertuang dalam Pasal 2 UU 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Dua asas penguat di dalam UU itu ialah tentang asas kebermanfaatan dan gotong royong.
Untuk itu, meski tujuan utamanya untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mempunyai rumahnya sendiri, namun kehadiran peserta bukan MBR dianggap penting sebagai wujud gotong royong membantu sesama.
"Definisi gotong royong apa yaitu secara bersama-sama dan saling tolong menolong yang sudah punya rumah membantu yang belum punya rumah. Kenapa perlu bergotong royong, kalau tidak bergotong royong, menyediakan dana murah jangka panjang itu tidak akan tercapai," ujar Eko dalam telekonferensi, Jumat (5/6).
(asp/elz)