Jakarta -
Politikus senior Amien Rais akan membentuk partai baru bernama Partai PAN Reformasi. Jika mengulik sejarah partai politik di Indonesia, PAN bukan partai politik (parpol) pertama yang pecah faksi.
Sebagaimana diketahui, loyalis Amien Rais, Agung Mozin, menyebut ada puluhan nama yang diusulkan untuk partai baru. Namun saat ini nama yang terkuat adalah Partai PAN Reformasi.
"Dari 30 nama yang diusulkan memang yang menguat Partai PAN Reformasi. Bukan singkatan ya, jadi PAN Reformasi, itu yang menguat," kata Agung kepada wartawan, Sabtu (29/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agung mengatakan tidak tertutup kemungkinan ada usulan nama lain sampai waktu deklarasi pada Desember nanti. Namun, menurutnya, nama tersebutlah yang saat ini disukai para loyalis Amien Rais.
Agung menilai PAN yang ada sekarang sudah membelot dari tujuan awal dibentuknya PAN. Untuk itulah, menurutnya, semua loyalis Amien Rais sepakat adanya perubahan. Itu yang menjadi alasan pembentukan nama PAN Reformasi.
Sejarah PAN hingga Terbelah 2 Faksi
Sebagaimana dikutip dari laman resmi PAN, sejarah berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) tak terlepas dari sosok Amien Rais, sang lokomotif gerakan reformasi 1998. Setelah berhasil menumbangkan Orde Baru, Amien Rais dan 49 rekannya yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (MARA) merasa perlu meneruskan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai politik baru.
Majelis Amanat Rakyat (MARA), yang merupakan salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, bersama PPSK Yogyakarta, tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet kemudian membidani lahirnya PAN.
Awalnya partai politik yang berasaskan Pancasila ini sepakat dibentuk dengan nama Partai Amanat Bangsa (PAB), namun akhirnya berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 di Bogor.
Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Amien Rais, Faisal Basri, Hatta Rajasa, Goenawan Mohamad, Rizal Ramli, Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya. PAN pun dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 di Istora Senayan.
Namun PAN kemudian berada di ambang perpecahan seusai kongres PAN yang digelar di Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tenggara (12/2). Kongres ini diwarnai kekacauan sampai ada insiden saling lempar kursi. Zulkifli Hasan pun akhirnya terpilih menjadi Ketum PAN mengalahkan Mulfachri Harahap, yang notabene jagoan Amien Rais.
Perpecahan semakin tampak ketika nama Amien Rais tak ada di kepengurusan PAN yang baru. Puncaknya, Amien Rais mengaku dikeluarkan dari PAN. Bermula dari sini, gagasan membentuk PAN Reformasi pun muncul.
"Kemudian saya tidak di PAN sama sekali. Saya sudah dikeluarkan anak buah saya, karena berbeda prinsipnya," kata Amien dalam perbincangan dengan Tengku Zulkarnain yang tayang di YouTube, seperti dilihat detikcom, Kamis (23/7).
Bukan Parpol Pertama Pecah Faksi
Jika jadi dideklarasikan, PAN Reformasi bukan parpol pertama yang berdiri karena pecah faksi. Sebelumnya, sudah ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sejak awal hingga kini dipimpin Megawati Soekarnoputri.
PDIP merupakan partai yang terbentuk dari konflik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI didirikan pada 10 Januari 1973, yang merupakan fusi (penggabungan) dari beberapa partai, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan dua partai keagamaan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Dalam perjalanannya, pada 1993 Megawati terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Ada cerita menarik di balik terpilihnya Megawati sebagai Ketum. Mulanya, kongres PDI 1993 yang diselenggarakan di Medan tak menghasilkan keputusan apa pun. Namun, saat itu pemerintah Orde Baru (Orba) mendukung Budi Harjono untuk jadi Ketum PDI menggantikan Soerjadi. Pada kongres luar biasa di Surabaya, Megawati menang. Keputusan ini dikuatkan pada Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Pemerintah Orba tak rela Megawati jadi Ketum PDI. Maka lewat Fatimah Ahmad cs, digelarlah Kongres Medan 1996 untuk mengembalikan Soerjadi sebagai Ketum PDI. Tapi Mega tak mengakui kongres tersebut.
Pemerintah Orba pun mengatur siasat dengan menciptakan dualisme kepemimpinan pada tubuh PDI. Berdasarkan kongres yang digelar 20 hingga 23 Juni 1996 di Medan, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI.
Lantas, dualisme kepimpinan dalam tubuh PDI ini berlanjut menjadi konflik antarpendukung ketum pada 1996. Peristiwa itu terjadi tepatnya pada 27 Juli 1996 atau dikenal sebagai peristiwa Kudatuli, yang merupakan akronim dari tanggal kerusuhan. Para pendukung masing-masing ketum bentrok di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta.
Pemerintah Orba menuding beberapa kelompok prodemokrasi bertanggung jawab atas peristiwa ini. Namun Megawati masih duduk di pucuk kepemimpinan PDI.
Meskipun begitu, Megawati tetap tak direstui pemerintah Orba. Maka PDI pimpinan Mega akhirnya gagal ikut Pemilu 1997. Saat Orba tumbang, PDI pimpinan Megawati menguat lagi. Kemudian partai ini mengubah namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pemilu 1999, PDIP menang. Megawati muncul sebagai calon terkuat presiden. Tapi Sidang Umum MPR justru memenangkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Megawati jadi wakilnya. Kendati demikian, ternyata posisi wakil presiden justru jadi batu loncatan Megawati untuk jadi presiden. Pada 23 Juli 2001 secara aklamasi, anggota MPR memilih Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Megawati menjabat sebagai presiden hingga 20 Oktober 2003. Selanjutnya, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini