Salah seorang kawan penulis menegur sahabatnya yang mulai tidak disiplin menerapkan protokol COVID-19. Padahal saat ini kami tinggal di zona yang belum aman dari penularan virus Corona tersebut. Sehingga mestinya disiplin, jaga jarak, mengenakan masker, rajin cuci tangan dan tidak keluar rumah jika tidak benar-benar penting.
Reaksi sahabat saya yang mendapat teguran tadi datar-datar saja. Bahkan cenderung menganggap enteng pendemi ini. Bagi dia kena atau tidak COVID-19 sudah menjadi takdir Allah SWT. "Kalau takdirnya kena ya kena." Begitu kurang lebih jawabannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntung, kawan saya yang menegur tadi memiliki kebijaksanaan di atas rata-rata. Dia biasa memberi tahu tanpa menggurui sehingga lawan bicaranya tidak merasa dianggap lebih rendah. Kepada sahabat yang mulai tidak disiplin protokol COVID-19 tadi, kawan saya mencuplik kisah Khalifah Umar bin Khattab saat tak jadi masuk ke Syam karena sedang ada wabah penyakit menular.
Peristiwa itu terjadi di bulan Rabiul Awwal tahun 18 hijriah. Saat itu Khalifah Umar bin Khattab berniat melakukan perjalan ke Negeri Syam, yang ketika itu sudah bergabung dengan kekuasaan Islam. Ketika sampai di wilayah Saragh, sebuah daerah di Lembah Tabuk dia bertemu dengan Gubernur Syam, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan para sahabat.
Kepada Umar, Abu Ubaidah yang disertai juga para sahabat melaporkan bahwa di Negeri Syam sedang terjadi wabah penyakit menular. Setelah mendapat laporan tersebut, Umar perlu pertimbangan para sahabat, apakah perjalanan ke Syam dilanjutkan atau tidak. Maka dipanggilah orang-orang Muhajirin senior untuk diajak bermusyawarah. Namun musyawarah tak mencapai kata sepakat. Ada yang menyarankan Umar melanjutkan perjalanan ke Syam, sebagian lagi minta sang Khalifah kembali ke Madinah.
Umar kemudian meminta Abdullah bin Abbas agar memanggilkan orang-orang Anshar untuk diajak bermusyawarah. Namun, lagi-lagi mereka saling berselisih pendapat sama seperti tokoh senior Muhajirin. Maka, kemudian Umar minta agar dipanggilkan orang-orang Quraisy yang dulu hijrah saat peristiwa Penaklukkan Makkah atau Fathu Makkah yang ternyata waktu itu tinggal tersisa dua orang saja.
Dua orang Quraisy tersebut menyarankan agar Umar dan rombongan kembali ke Madinah, tidak meneruskan perjalanan ke Syam yang sedang dilanda wabah penyakit menular. Umar menerima pendapat tersebut. Dia memutuskan kembali ke Madinah keesokan harinya.
Baca juga: Merdeka dari Sifat Amarah dan Dendam |
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah kaget atas keputusan Umar tersebut. Dia pun bertanya kepada Umar, sang Singa Padang Pasir, "Engkau ingin lari dari takdir Allah wahai Khalifah?"
"Seandainya bukan engkau yang bertanya wahai Abu Ubaidah, tentu aku jawab, 'Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya," kata Umar bin Khattab.
"Bagaimana pendapatmu jika engkau memiliki seekor onta, kemudian di depanmu ada lembah dengan dua lereng. Satu subur dan satunya lagi tandus. Jika engkau memilih menggembala di tempat yang subur, bukankah itu karena takdir Allah? Begitu juga ketika kamu memilih menggembala di tempat yang tandus, bukankah itu juga karena takdir Allah?" Umar melanjutkan kata-katanya.
Beruntung di saat itu datang Abdurrahman bin Auf yang meredakan ketegangan. Kepada Umar, Abu Ubaidah dan para sahabat, Abdurrahman bin Auf kemudian menyampaikan sabda Rasulullah SAW yang bisa menjadi pedoman umat Islam saat menghadapi wabah penyakit.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sementara kalian ada di tempat itu, maka jangan keluar dari sana."
Cerita berakhir di sini. Sahabat saya yang mendapat teguran tadi mulai mengangguk-angguk. Dia berkesan dengan kata-kata Umar bin Khattab, "Ya kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya."
Dia kemudian teringat dengan Firman Allah SWT dalam Al Qur'an Surat Ar Rad ayat 11
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
Artinya: "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum sehingga mereka mengubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ya, manusia diberikan kesempatan untuk berikhtiar. Termasuk berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah penyebaran COVID-19. Caranya dengan tetap dan terus disiplin mengenakan masker, menjaga jarak dengan orang lain saat keluar rumah, dan rajin mencuci tangan. Di mana saja dan kapan saja. Ini adalah sebuah ikhtiar agar semuanya terhindar dari COVID-19.
Seperti kata Umar bin Khattab tadi, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Kita sedang berusaha hijrah menuju takdir Allah yang lain.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1442 Hijriah
Erwin Dariyanto
Redaktur Pelaksana Special Content dan Hikmah detikcom
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis. Isi artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi detikcom. -Terima kasih (redaksi)
(erd/erd)