Pemerintah dua kali digugat soal kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan kepada Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan gugatan pertama, namun menolak untuk gugatan yang ke dua.
Aturan soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan awalnya dituangkan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Lalu, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung.
Awalnya iuran BPJS yang ditetapkan tahun 2018 adalah Rp 80.000 (kelas I), Rp 51.000 (kelas II), dan Rp 25.500 (kelas III). Tahun 2019, iuran BPJS Kesehatan kemudian disesuaikan kembali menjadi Rp 160.000 (kelas I), Rp 110.000 (kelas II), dan Rp 42.000 (kelas III).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MA mengabulkan permohonan mereka. Meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS per-tanggal 1 Januari 2020.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro, saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/3/2020).
Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang naik 100 persen. Menurut majelis hakim, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu tidak memperhatikan kebatinan masyarakat.
"Bahwa dengan terbuktinya konsideran faktual Perpres No. 75 Tahun 2019, yang tidak mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat dalam bidang ekonomi saat ini," demikian bunyi pertimbangan putusan MA nomor 7 P/HUM/2020 yang dikutip detikcom, Selasa (31/3).
Putusan ini diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Putusan judicial review itu diketok dengan suara bulat.
"Maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang secara sepihak menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP guna menutupi defisit dana BJPS, diaggap telah melanggar asas pemberian pertimbangan secara adil dan berimbang (audi et alterem partem)," ujar majelis.
Tonton video 'Begini Skema Bantuan Iuran BPJS di 2020-2021':