Penyidik KPK memanggil Bupati Blora Djoko Nugroho untuk memberikan kesaksian terkait dengan kasus dugaan korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia (PT DI) tahun 2007-2017. Djoko memiliki latar belakang militer dengan pangkat terakhir Letkol Inf (Purn).
"Dipanggil sebagai saksi untuk tersangka BS (Budi Santoso/mantan Direktur Utama PT DI)," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (6/8/2020).
Selain itu ada pula dua nama lain yaitu Suhardi dan Susinto Entong yang dipanggil sebagai saksi. Dituliskan dalam jadwal pemeriksaan KPK yaitu Suhardi sebagai Kasi Sarpras Basarnas dan Susinto sebagai Komisaris PT Quartagraha Adikarsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pusaran kasus ini KPK menetapkan mantan Dirut PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama Bidang Bisnis Pemerintah PT DI Irzal Rinaldi Zailani sebagai tersangka. Kedua tersangka itu diduga melakukan korupsi dengan modus membuat kontrak fiktif.
"Mulai Juni 2008 sampai 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia (persero) yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha. Atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama," kata Ketua KPK Firli Bahuri di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (12/6).
KPK menyebut selama 2011 sampai 2018, keenam perusahaan mitra/agen itu mendapat pembayaran dari PT Dirgantara Indonesia (Persero) sekitar Rp 205,3 miliar dan USD 8,65 juta. Kemudian, ada sejumlah pejabat PT DI, termasuk Budi dan Irzal, yang meminta sejumlah uang ke enam mitra/agen tersebut. Total uang yang sudah diterima senilai Rp 96 miliar.
KPK menduga perbuatan tersangka mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 205,3 miliar dan USD 8,65 juta atau setara dengan Rp 125 miliar. Jika ditotal, kerugian negara dalam kasus itu diduga mencapai Rp 330 miliar.
(dhn/dhn)