Ketua Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) Agus Suherman bicara soal keunggulan perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya perlu dukungan pemerintah agar perikanan tangkap di Indonesia bisa terus berkembang.
Agus menyampaikan, Laut Selatan Jawa Timur, Bali, NTB dan bahkan sampai NTT atau di WPP-573 merupakan tempat memijah (spawning ground) ikan tuna sirip biru selatan atau Southern Bluefin Tuna (SBT). Ikan ini menurutnya termasuk mahal.
"Ikan SBT termasuk ikan mahal untuk sashimi, yang hanya ada 2 jenis di dunia yaitu Notherm Blue fin dan Southern Blue Fin," kata Agus Suherman dalam Webinar FKP2PT, Selasa (4/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, Agus mengatakan kuota penangkapan SBT dari organisasi perikanan regional CCSBT bagi Indonesia yang mencapai 1.000 ton/tahun perlu dioptimalkan dengan cara-cara yang berkelanjutan.
"Walaupun masih di bawah Australia dan Jepang yang mencapai 6.000 ton/per tahun, upaya-upaya konservasi dan pengelolaan serta tentunya diplomasi yang baik, strategi yang tepat dimungkinkan untuk naiknya kuota tangkapan SBT Indonesia di masa mendatang, mengingat laut rumah SBT adalah Indonesia," ujar Agus.
Agus melanjutkan, usaha budidaya atau pembesaran SBT juga belum berkembang di Indonesia. Karena itu, perlu dukungan riset dan inovasi untuk mempercepat proses transformasi teknologi ke depan. Ini menurutnya sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi untuk memajukan sektor budidaya perikanan.
"Di sisi lain keunggulan perikanan tangkap di NTB dan NTT justru perikanan tradisionalnya, ini sebetulnya bisa dikembangkan dalam bingkai ekonomi kerakyatan. Oleh karenanya tentu, infraktruktur adalah perhatian utama. Khususnya armada, pelabuhan dan transportasi. Optimalisasi pemanfaatan perikanan tangkap NTT dengan asumsi mampu mencapai 300 ribu ton/tahun maka ekonomi yang berputar dari perikanan tangkap saja bisa mencapai Rp 6 triliun/tahun," jelasnya.
Sejalan dengan itu, Dr Yahyah mewakili Universitas Nusa Cendana sebagai penyelenggara webinar Serial 4 Temu FK2PT mengatakan NTT dikenal sebagai daerah dengan keunggulan perikanan skala kecil. Wilayah ini didominasi perikanan pole and line dengan ikan cakalang sebagai komoditi utama, di samping jenis ikan demersal kerapu dan kakap.
"Potensi pengembangan perikanan skala kecil NTT cukup besar, nilai tambah produk menjadi satu fokus penting untuk meningkatkan nilai ekonomisnya," ungkapnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Ganef Wurgiyanto menyampaikan target produksi perikanan tangkap 288.758 ton pada tahun 2023 sebagai arah untuk NTT bangkit menuju sejahtera. Ia mengatakan NTT masih memiliki peluang besar untuk pengembangan yaitu sekitar 60% dari JTB 393.360 ton per tahun, dengan komoditi utama tuna, tongkol, cakalang (TCT), ikan demersal kerapu, kakap, kurisi dan ikan pelagis kecil tembang dan layang.
Sementara itu, Wahid W Nurdin pengusaha perikanan pole and line menyampaikan adanya kendala perizinan, konflik dengan nelayan purse seine, dan kesulitan mendapatkan umpan hidup.
"Perikanan pole and line adalah perikanan yang paling ramah lingkungan, tujuannya menangkap ikan ekonomis penting seperti tuna, cakalang dan tongkol dengan pancing, hasil tangkapan berkualitas baik sehingga layak untuk dikembangkan melalui kemudahan perizinan", ujarnya.
Di sisi lain, Sitti Hilyana Ketua Forum Ilmiah Perikanan Berkelanjutan Provinsi NTB dan juga Sekretaris Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Mataram memproyeksikan pertambahan jumlah penduduk NTB mecapai 5,7 juta penduduk tahun 2035. Proyeksi ini merupakan peluang tenaga kerja dan konsumen bagi perikanan tangkap di NTB.
Wini Trilaksani Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Pengolahan Hasil Perairan FPIK IPB menyampaikan produksi ikan di NTT sangat potensial untuk pemenuhan konsumsi penduduk dalam rangka menekan beban masalah gizi yaitu stunting di Indonesia dan secara khusus di wilayah Nusa Tenggara. Permintaan ikan secara nasional dan internasional dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan tingkat konsumsi penduduk.
Namun, lanjut Wini, dengan adanya pandemi COVID-19 terjadi penurunan permintaan karena lockdown di berbagai negara dan penutupan wilayah. Sementara itu produksi masih tetap tinggi sehingga ada produksi ikan di beberapa pelabuhan yang terbuang. Diperlukan inovasi pemberian nilai tambah, baik untuk pangan konvensional, pangan fungsional, maupun nutaceutical, untuk menyediakan pangan yang sehat, aman dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Wini menambahkan, perkembangan bahan pangan ke depan tidak saja produk yang siap untuk dimasak juga diperlukan kecekatan penyajian, produk yang awet, bergizi, dan aman. Pengembangan produk bernilai tambah harus disesuaikan dengan keinginan konsumen atau permintaan pasar.
Berbagai jenis diversifikasi olahan produk perikanan menurut Wini perlu disesuaikan dengan kebutuhan kelompok umur untuk pemenuhan gizinya. Para pelaku usaha pengolahan ikan UMKM perlu melakukan inovasi terhadap produk-produk olahan, tidak saja belajar dari produk yang ada di pasar dalam negeri melainkan juga yang ada di luar negeri.
"Ikan mampu memberikan nilai ekonomis dari keseluruhan bagian tubuhnya, daging, kepala, hati, jeroan, kulit, tulang, mata, gelembung renang. Pasar sudah tersedia, tinggal yang diperlukan adalah standarisasi dan komersialisasi," ujar Wini.
Webinar FK2PT Seri-4 pada Selasa (4/8) diselenggarakan oleh FK2PT bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) dan Universitas Mataram (UNRAM), IPB University dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hadir dengan tema "Era Adaptasi Norma Baru untuk Pelaku Usaha Perikanan di Nusa Tenggara", webinar digelar untuk mengurai permasalahan, tantangan dan peluang bagi kebangkitan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan nasional di masa pandemi COVID-19.
Webinar dihadiri oleh Ketua FK2PT Dr. Agus Suherman, S.Pi., M.Si., Perwakilan UNDANA Dr. Ir. Yahyah, MSi., para Guru Besar/Akademisi Bidang Perikanan Tangkap dari IPB University, UNDIP, UNRI, UHO, UNHAS, USNI, UNTIRTA, UNRAM, UNDANA, perwakilan pemerintah, serta para pelaku usaha perikanan tangkap dari Aceh hingga Papua.