Tindakan jaksa penuntut umum (JPU) yang mengajukan peninjauan kembali (PK) dalam kasus Bank Bali atas terdakwa Djoko Tjandra pada 2008 dinilai tidak memiliki dasar hukum. Padahal, di tingkat pertama dan kasasi, Djoko divonis lepas dari segala dakwaan.
Hal tersebut disampaikan oleh praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, saat menanggapi polemik PK yang dilakukan oleh JPU ke Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Djoko Tjandra.
"Karena yang punya hak PK berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya. Tidak ada dasar hukum bahwa jaksa PK, yang ada hanya yurisprudensi," kata Suparji kepada wartawan, Rabu, (29/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suparji menyatakan, secara filosofis, jaksa sebagai alat negara diberikan untuk membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi.
"Kalau jaksa bisa PK, tidak ada kepastian hukum karena setiap saat orang yang sudah bebas atau lepas dapat dituntut melalui PK jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai keadilan," tandas Suparji.
Menurut Suparji, PK yang diajukan oleh JPU bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Tidak hanya itu, peninjauan kembali oleh jaksa melanggar dua hal. Pertama, peninjauan kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum dan jaksa tidak dapat menjadi pemohon peninjauan kembali," cetus Suparji.
Jika merujuk pada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa jaksa dilarang mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum.
"Namun dua hal tersebut dilanggar oleh jaksa," beber Suparji.
Namun yang terjadi peninjauan kembali yang diajukan oleh JPU diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan no. 12 PK/Pid.Sus/2009 pasa 11 Juni 2009. Amar putusan peninjauan kembali itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Bunyi amar juga menyebutkan bahwa PK membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 156/Pid.B/2000/ PN.Jak.Sel. tangggal 28 Agustus 2000.
"Putusan Mahkamah Agung telah bertentangan dengan Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula," tegas Suparji.
Dalam putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung jo. putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging), sedangkan dalam putusan PK, terdakwa JST dihukum pidana penjara selama 2 tahun.
"Hal ini berarti bahwa putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, dan dengan demikian putusan PK No. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP," pungkas Suparji.
(asp/fjp)