Pandemi Covid-19 membiasakan orang tidak bepergian, diam di rumah kecuali ada kebutuhan mendesak.
Entah karena kebanyakan di rumah, kegiatan menurun tajam. Atau karena aktifitas mulut hijrah ke tangan, tak ada hari yang sepi komentar di media sosial. Saking terlalu seringnya, hal kecil dikomentari apalagi yang besar. Seorang anggota group sambil melucu berujar,"Teman-teman ini, semua dikomentari. Semakin memperjelas menurunnya beban kerja".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya jika dianalisis statistik, lebih 80 persen komentar itu bernilai negatif. Sangat merugikan. Terlebih yang berkomentar yakin bahwa dirinya paling ilmiah, mengira komentarnya benar. Akankah budaya ini boleh terus dikembangkan atau sebaiknya dibelokkan? Diarahkan menuju solusi mudah, inovatif, membuka jalan keluar!
Atau lebih baik diam bila memang belum memiliki pengetahuan cukup, apalagi memang tidak memiliki ilmu (pengetahuan) tentang apa yang dikomentari.
Pada suatu hari Nabi Musa as. berkhutbah di hadapan kaum Bani Israil sambil bertanya, "Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?" Tak satu pun jawaban terdengar dari mereka. Musa as. melanjutkan, "Akulah orang yang paling alim (ilmuwan)."
Melalui peristiwa itu, Allah swt. menegur Musa. Ia keliru karena tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Allah mewahyukan kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan, dia lebih alim daripada kamu."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah cara menjumpainya?"
Allah berfirman, "Bawalah besertamu ikan, lalu masukkan ikan itu ke dalam kembu (wadah ikan). Manakala kamu merasa kehilangan ikan, maka ilmuwan itu berada di tempat tersebut."
Musa membawa ikan, lalu memasukkannya ke dalam kembu, dan ia berangkat ditemani oleh muridnya, Yusya' ibnu Nun 'alaihissalam.
Sampailah mereka di tempat ikan menunjukkan tempat Nabi Khidir as. berada.
Setelah menyampaikan salam, Musa memohon ijin mengikuti Nabi Khidir agar beliau mengajarkan kepada Musa apa yang tidak dimilikinya dari ilmu yang dianugerahkan Allah (QS.18:66) "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?". Nabi khidir mengungkap keberatannya karena Musa mungkin tidak sabar (QS. 18:67-68) "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Musa pun berkeras mengikuti Khidir as. Beliau pun berpesan agar Musa tidak sekalipun berkomnetar terhadap apa pun yang ia lakukan. Ada saatnya nanti semua apa yang dilakukan Khidir akan dijelaskannya (QS.18:69-70).
Berangkatlah Khidir dan Musa as. Sampai mereka menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa secara reflek berkomentar. Mengapa Khidir melubangi perahu yang akan membuat para penumpangnya 'tenggelam'?
Khidir mengingatkan syarat yang telah disepakatinya. Musa memohon maaf. Perjalanan dilanjutkan. Sampai pada tempat di situ anak-anak sedang bermain, belum baligh, berarti mereka belum dihitung memiliki dosa. Khidir memanggil salah satu mereka lalu membunuhnya. Sekali ini Musa tidak tahan, lalu berkomentar. Mengapa Khidir membunuh anak yang belum berdosa. Boleh jadi menurut Musa, jika anak itu memiliki salah, mestinya bisa dimaafkan karena akalnya belum sempurna
Khidir mengingatkan janji Musa untuk tidak berkomentar. Musa memohon maaf dan berjanji lagi. Jika satu kali lagi berkomentar maka Khidir berhak meminta Musa untuk tidak mengikutinya lagi.
Masuklah mereka pada pusat pemukiman. Tak satu pun penduduknya yang mau menjamu tamu. Walau sekedar menyediakan makan bagi musafir yang lapar.
Tampak kepada mereka sebuah dinding rumah yang miring hendak roboh. Khidir mengajak Musa untuk menegakkannya. Di bawah sadar Musa berkomentar,"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk kita" (QS. 18:77).
Sampailah Musa kepada tiga komentar yang menjadikannya harus meninggalkan Khidir, sesuai dengan janji yang dibuatnya sendiri.
Khidir pun menerangkan bahwa apa-apa yang dilakukannya bukan atas keinginan nafsunya, tetapi sesuai dengan ilmu yang telah diwahyukan Allah swt kepadanya.
Perahu yang dilubanginya adalah milik orang miskin (orang yang mempunyai pekerjaan tetapi belum mampu mecukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya). Di tengah laut ada perampok yang menyita setiap perahu yang tidak memiliki cacat. Khidir melubangiya agar perahu itu selamat.
Anak kecil yang dibunuh Khidir adalah putra dari Ayah-Ibu yang mukmin. Anak itu sangat manja sehingga apa pun yang diinginkannya akan disetujui orangtuanya. Ke depan, sesuai dengan ilmu Khidir, anak itu akan ingkar, orang tuanya pun menyetujuinya. Allah swt. berkehendak mewafatkannya sebelum berbuat salah. Sehingga dia aman dari siksa neraka. Kedua orangtuanya pun tetap mukmin. Allah akan mengganti dengan anak yang shaleh. Sehingga semuanya bisa berkumpul di dalam surga.
Ada pun dinding rumah yang hendak roboh adalah milik anak yatim. Kedua orang tuanya shaleh. Di bawah dinding itu tersimpan harta peninggalan orang tuanya. Allah berkenan agar dinding rumah baik. Jika roboh pasti harta anak yatim itu diketahui penduduk di situ. Penduduk yang pelit menemukan harta anak yatim, bisa dibayangkan. Allah akan menunjukkan keberadaan harta itu tepat pada waktunya.
Itulah penjelasan Khidir terhadap setiap perbuatannya. Musa memahaminya.
Terlalu mudah berkomentar, sesuai dengan hikmah dari kisah di atas, antara lain bisa menjadi tanda bahwa orang tersebut belum termasuk penyabar. Mengapa belum bisa sabar? Karena belum memiliki cukup ilmu (QS. 18:67-68).
Karena itu siapa pun kita, bertambah hari semoga semakin mampu menjadi ilmuwan. Ialah orang yang sabar. Buktinya tidak berkomentar kecuali yang bernilai; solusi, mudah, efektif, efisien, realistis, berdasarkan ilmu!
Abdurachman
Guru Besar FK Unair
*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pengirim. -Terimakasih (Redaksi)-
(erd/erd)