ICW menilai pembentukan tim pemburu koruptor bukan hal genting karena sebelumnya tidak bekerja maksimal. ICW justru meminta kinerja aparat penegak hukum saat ini dievaluasi berkaca dari sengkarut buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra masuk ke RI.
"Hal yang penting menurut pandangan kami sebelum juga pada kesimpulan pembentukan tim pemburu koruptor adalah mengevaluasi kinerja penegak hukum baik itu KPK, kepolisian dan kejaksaan," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam diskusi 'Menakar Efektivitas Rencana Pembentukan Tim Pemburu Koruptor' yang disiarkan di Facebook Sahabat ICW, Kamis (16/7/2020).
"Karena sepanjang tahun 2020 ini dari Januari sampai Juni potret penegakan hukum kita banyak sekali menyita perhatian publik hal yang disesalkan justru pandangan publik negatif terhadap penegakan hukum, terutama terkait dengan pencarian buronan," imbuh Kurnia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurnia menyoroti kinerja aparat penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra. ICW menyinggung sejumlah pihak dalam kasus ini.
"Untuk kepolisian dan kejaksaan kita bisa melihat di konteks kasus hari ini Djoko Tjandra yang mana kemarin salah satu jenderal polisi baru saja dicopot dari jabatannya karena diduga terlibat untuk membantu pelarian dari Djoko Tjandra. Selain dari itu juga ada hal-hal yang penting untuk ditelusuri lebih lanjut oleh instansi kepolisian terkait dengan penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar red notice interpol," kata Kurnia.
"Selain dari itu juga yang penting untuk di evaluasi karena terkait dengan buronan luar negeri pasti sangat berkelindan dengan Kemenkum HAM khususnya Direktorat Imigrasi, pada 2 kasus yang saya sebutkan Dirjen Imigrasi juga tidak perform dengan baik, justru malah ada indikasi imigrasi membantu juga pelarian dari beberapa buronan," imbuh Kurnia.
ICW menilai justru pemerintah RI perlu memperbanyak kerja sama mutual legal assistance (MLA) dan perjanjian ekstradisi dengan negara lain yang rawan menjadi tujuan koruptor bersembunyi. Tak hanya itu, dia menyebut aparat penegak hukum juga bisa tanpa perjanjian MLA menangkap buronan, yaitu dengan menjaga hubungan baik dengan penegak hukum negara lain.
"Itu terbukti dalam beberapa case kalau saya cek di pemberitaan kasus e-KTP yang mana FBI membantu menelusuri aset almarhum Johannes Marliem, kasus Maria Lumowa kemarin karena kita tidak punya perjanjian MLA dan ekstradisi dengan Serbia pada faktanya orang tersebut bisa dihadirkan di Indonesia," ujarnya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai pembentukan tim pemburu koruptor belum diperlukan apalagi di masa pandemi COVID-19 karena dianggap tidak mendukung efisiensi anggaran. Justru menurutnya yang diperlukan adanya peran Kemenko Polhukam dalam mengkoordinasikan aparat penegak hukum.
"Pembentukan tim pemburu koruptor itu ada konsekuensi pendanaannya. Bahkan kalau menurut saya tim ini, umpamanya menambah wakil menteri itu tidak hanya satu dia satu rombongan nanti ada kasubsinya, direktorat segala macam. Artinya kalau bentuk tim baru, itu harus dilengkapi tim kerja sendiri dan tim itu menyita dana. Di situasi seperti sekarang COVID-19 ini, beberapa ahli bilang kita mendekati uangnya hampir habis, ini ironis, ini kita harus mengeluarkan biaya baru untuk satu tim yang sebenarnya tidak perlu," ujar Ficar.
(yld/gbr)