Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali ngegas para menterinya soal kinerja. Kali ini, Jokowi meminta para menteri bekerja lebih keras dan menyindir work from home (WFH) yang malah seperti cuti. Lalu, apakah marah-marah Jokowi ini cukup untuk membuat para menteri bekerja secara extraordinary?
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Dr Muryanto Amin, punya analisis sendiri soal Jokowi yang kembali ngegas para menterinya soal kinerja. Dia menilai terhambatnya kinerja para menteri ini disebabkan beberapa faktor.
"Kalau lihat dari siklus perencanaan dan anggaran pemerintah, semua pemerintah di dunia mengalami kesulitan karena tidak punya banyak pengalaman mengatasi pandemi secara mendadak. Sementara, perencanaan anggaran itu agak sulit diubah secara cepat, jadi butuh waktu misalnya untuk melakukan perubahan anggaran," ujar Muryanto, Kamis (9/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Jokowi Ngegas Menteri Lagi |
Dia menilai ada tiga tahapan penting yang harus dihadapi oleh pemerintah untuk mengatasi dampak dari penyebaran virus Corona, yakni mencegah penyebaran, memberi stimulus ekonomi dan menyiapkan kenormalan baru. Nah, di antara tiap tahap ini terdapat masa transisi yang menurutnya memang menyebabkan kinerja melambat.
"Ada evaluasi yang harus dilakukan Presiden untuk melakukan tiga hal itu. Kesulitan pertama kita sulit di pelaksanaan dan waktu anggaran yang sangat ketat. Kedua, inovasi-inovasi baru yang dibutuhkan saat pandemi ini butuh waktu untuk dilaksanakan. Nah, pada saat virus terus melebar, pada saat yang sama inovasi lagi dirancang, terjadilah stagnan, terjadi suatu proses penyesuaian. Saat proses transisi ini, dia nggak begitu bergerak. Anggaran kementerian tidak begitu bergerak, karena yang terjadi adalah proses transisi," ucapnya.
Muryanto mengatakan para menteri sebenarnya sudah tahu apa yang harusnya dilakukan dalam masa pandemi Corona ini. Namun, dia menilai inovasi dalam kinerja di tengah pandemi memang butuh waktu.
"Itu tepatnya warning, 'anda harus melakukan sesuatu extraordinary, ini tidak normal'. Misal, buat keputusan menteri baru dalam rangka melakukan sesuatu yang tidak diatur oleh perundang-undangan. Itu menurut saya satu peringatan dan lihat nanti setelah peringatan pertama ini jalan atau tidak, kalau jalan berarti betul bahwa transisi yang terjadi pada saat pandemi ini butuh waktu. Waktu-waktu yang sangat krusial itu presiden merasa kenapa lambat, banyak yang tidak jalan, itu proses penyesuaian, kalau menurut saya begitu," jelasnya.
Tonton juga 'Jokowi Sindir Para Menteri: Saya Lihat WFH Kemarin Kayak Cuti':
"Presiden harus memberikan semacam guidance, petunjuk yang sifatnya memberi penekanan pada para menteri, 'Anda itu jangan takut untuk melakukan suatu yang baru meski tidak diatur dalam peraturan'. Kan orang takut, Kementerian takut melakukan hal baru nggak diatur, misal mengubah program, anggaran pada tahun anggaran berjalan, nggak bisa semena-mena, suka hati, harus ada landasan hukum. Proses ini, koordinasi kementerian, antarkementerian, pada saat normal saja sulit, apalagi tidak normal. Presiden harus memberi penekanan 'Anda kalau mau buat suatu yang baru, harus extraordinary kalau butuh aturan pun bilang sama saya apapun akan saya lakukan', begitu," ucapnya.
Muryanto pun menilai marah-marah Jokowi adalah hal yang tepat. Dia mengatakan Jokowi berupaya menunjukkan transparansi dan sikap pemimpin yang telah mendengar kebutuhan publik.
"Itu yang harus dilakukan oleh Jokowi karena itu bentuk transparansi model kepemimpinan dia," ujarnya.
Muryanto juga menyoroti isu reshuffle yang sempat muncul dan buru-buru 'dinetralisir' oleh pemerintah. Dia menilai reshuffle bukan hal yang krusial dan malah bisa menimbulkan kecemasan di kabinet.
"Sebaiknya kalau perlu 5 tahun itu tidak perlu reshuffle selama kinerja kementerian itu tepat atas dasar ukuran yang telah ditetapkan sebelumnya. Reshuffle pada konteksnya berarti menunjukkan, pertama salah memilih menteri. Bisa macam-macam, karena kemampuan kurang, moral dan seterusnya. Kedua, ada abuse, ada kebingungan yang disebabkan oleh pernyataan, kebijakan yang belum waktunya. Selama isu reshuffle terus dimunculkan itu akan mengganggu kinerja pemerintah," tuturnya.