Menko Polhukam Mahfud MD akan memanggil 4 institusi untuk meminta laporan perkembangan terkait buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Mahfud mengatakan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan keempat institusi tersebut.
"Dalam waktu dekat ini akan memanggil 4 institusi, yaitu Kemendagri, mengenai kependudukan, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung terkait penegakan hukum dan keamanan, juga Menkumham terkait imigrasi-nya. Kita akan kordinasi," ujar Mahfud Md dalam keterangannya, Selasa (7/7/2020).
Mahfud menambahkan, proses penangkapan Djoko Tjandra mesti terbuka. Masyarakat, kata Mahfud, perlu tahu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di dalam negara demokrasi itu masyarakat harus tahu semua proses-proses yang tidak akan menyebabkan terbongkarnya rahasia sehingga seseorang bisa tambah lari. Semua proses harus terbuka dan disoroti masyarakat," tutur Mahfud.
Sebelumnya, Djoko Tjandra terseret kasus cessie Bank Bali yang meledak pada 1998 senilai lebih dari Rp 500 miliar. Djoko dihukum 2 tahun penjara dalam putusan PK yang diajukan jaksa. Djoko diduga meninggalkan Indonesia pada 10 Juni 2009. Kejaksaan Agung pun menegaskan akan terus mencari dan menangkap Djoko Tjandra.
Namun, diketahui, Djoko Tjandra ternyata sempat membuat e-KTP sebelum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Nama dalam KTP itu tertulis Joko Soegiarto Tjandra.
Lurah Grogol Selatan, Asep Subahan, memberikan penjelasan mengenai pembuatan e-KTP Djoko Tjandra. Asep menyebut pembuatan e-KTP yang kurang dari sejam itu sudah sewajarnya.
Ditemui di kantornya, Senin (6/7), Asep mengatakan awalnya ia ditemui pengacara Djoko Tjandra bernama Anita Kolopaking. Saat itu Anita bertanya kepada Asep mengenai status kependudukan Djoko Tjandra.
"Sebelumnya saya dihubungi oleh pengacaranya untuk menanyakan status kependudukan Pak Djoko Tjandra, apakah KTP-nya Pak Djoko Tjandra ini dengan informasi KTP masih ada atau tidak, masih berlaku atau tidak. Itu yang Bu Anita komunikasikan ke saya," ujar Asep.
Saat itu Asep mengaku mengecek ke sistem dan menemukan datanya tapi belum masuk ke e-KTP. Setelah itu, Asep mengatakan Djoko Tjandra harus datang ke kelurahan untuk direkam sidik jarinya.
"Syaratnya harus yang bersangkutan datang karena itu kan harus direkam KTP dan sidik jari itu tidak bisa diwakilkan, kalau yang lain-lain mungkin bisa diwakilkan," ucap Asep.
Djoko Tjandra lantas datang pada 8 Juni 2020. Asep mengaku Djoko Tjandra mengikuti prosedur yang ada sesuai dengan aturan.
"Djoko Tjandra datang dengan Bu Anita, saya persilakan langsung menuju ruang pelayanan di PTSP, saya tanya petugas apakah sudah siap pemotretan, siap, ya menuju ke ruangan untuk pemotretan. Saya tinggal, saya ngobrol dengan pengacaranya, hanya 'say hello'. Hanya itu prosesnya, transaksi seperti pelayanan biasa," ujar Asep.
Asep juga mengaku awalnya tidak tahu bahwa Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali. Apa yang dilakukannya semata-mata untuk membantu warga mendapatkan e-KTP.
"Saya nggak tahu. Terus dia datangnya dari kelurahan dari luar Indonesia dan sebagainya kita nggak tahu. Makanya warga datang ke kita, seperti itu saja," katanya.
(isa/gbr)