Jaksa yang ada di KPK kini tidak wajib lagi jadi ASN. Sebab, Pasal 8 Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) Nomor 35 Tahun 2018 dianulir Mahkamah Agung (MA). Apa alasan MA?
Judicial review itu diajukan oleh jaksa Lie Putra Setiawan. Saat ini, ia sedang diperbantukan di KPK. Dengan aturan Pasal 8 Permen PAN RB Nomor 35/2018 memberatkannya karena mewajibkan dirinya jadi ASN. Padahal, dia masih ingin menjadi jaksa.
Pasal 8 Permen Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penugasan PNS Pada Instansi Pemerintah dan Di Luar Instansi Pemerintah berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, PNS yang statusnya diperkerjakan atau diperbantukan pada Instansi Pemerintah maupun di luar Instansi Pemerintah tetap menjalankan tugasnya dan mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai dengan dilakukan penyesuaian status kepegawaiannya paling lama 2 (dua) tahun berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Judicial review dilayangkan Lie Putra Setiawan dan dikabulkan MA.
"Dalam sistem hukum dikenal norma hukum berjenjang (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) dari teori Hans Kelsen dan Nawiasky bahwa norma hukum dari suatu negara berjenjang- jenjang dan bertingkat-tingkat, di mana norma yang di bawah berlaku dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar pada norma tertinggi yang disebut norma dasar (grundnorm)," demikian bunyi putusan MA yang dikutip detikcom, Senin (6/7/2020).
Tonton video 'ICW Soroti Merosotnya Jumlah OTT KPK di Era Firli Bahuri':
Pasal 8 Peren 35/2018 menyebabkan beberapa instansi yaitu KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Jaksa Agung mengajukan surat kepada Menteri PAN dan RB. Pada pokoknya mengenai pemberlakukan objek permohonan hak uji materiil terkait Jaksa yang diperbantukan atau diperkerjakan/ditugaskan di instansi pemerintah dan di luar instansi pemerintah.
"Termohon (Menteri PAN dan RB-red) juga dalam menetapkan objek permohonan hak uji materil tidak berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga objek permohonan hak uji materil juga bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum. Bahwa suatu materi atau substansi peraturan perundang-undangan mutlak mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum (vide Pasal 6 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ujar majelis yang diketuai Supandi itu.
MA menyatakan Pasal yang digugat bertentangan dengan:
1. Pasal 202 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
2. Pasal 43, Pasal 45 UU KPK
3. Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan Republik Indonesia
4. Pasal 1 angka 6 KUHAP.
"Oleh karenanya permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diajukan Pemohon beralasan hukum untuk dikabulkan," kata majelis yang beranggotakan Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono.