Komisi IX DPR RI menilai rapid test di Indonesia masih dibutuhkan karena alat test polymerase chain reaction (PCR) dan Tes Cepat Molekuler (TCM) jumlahnya belum mencukupi untuk kebutuhan penanganan virus Corona. Hal ini menanggapi pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono yang meminta pemerintah menyetop rapid test.
"Semua berjalan pararel, rapid test dengan akurasi yang baik sesuai rekomendasi Kemenkes, dan PCR atau TCM yang lebih akurat dibanding rapid test. Kita masih butuh waktu, jikalau alat PCR dan TCM sudah tersedia dengan jumlah cukup di se-antero negeri, maka penggunaan rapid test pelan-pelan dikurangi bahkan disetop," kata Wakil Ketua Komisi IX, Melki Laka Lena kepada wartawan, Sabtu (4/7/2020).
Dia menyebut selama pengujian dengan PCR atau TCM belum mencukupi di Indonesia, maka rapid test masih bermanfaat dalam kondisi 'new normal'. Namun, kata dia, pemerintah pun seharusnya meningkatkan penggunaan PCR dan TCM untuk menangani pencegahan serta pelacakan pada pasien dengan kasus positif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama (PCR dan TCM) belum tersedia dalam jumlah cukup di penjuru Nusantara, penggunaan rapid test yang mempunyai akurasi baik sesuai rekomendasi Kemenkes tetap bisa dilakukan dalam sikon new normal saat ini," katanya.
Tonton video 'Jokowi Soroti Penolakan Rapid Test-PCR Corona Oleh Warga':
Melki menyebut penggunaan alat rapid test dan PCR produksi dalam negeri yang sudah lolos uji harus diprioritaskan untuk dipakai secara massal. Dengan harga yang relatif lebih terjangkau, selain membantu dalam bidang kesehatan, menurutnya juga akan mendongkrak perekonomian Indonesia.
"Berguna dalam aspek kesehatan sekaligus membantu memutar roda ekonomi dalam negeri dalam penanganan COVID-19," katanya.
Diberitakan sebelumnya, pakar epidemiologi Pandu Riono angkat bicara mengenai rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah virus Corona (COVID-19). Menurutnya, rapid test mesti dihentikan secepatnya.
"Menurut saya, harus segera. Kalau perlu, besok Senin rapid test di seluruh Indonesia itu dihentikan," ujar Pandu dalam diskusi 'Jelang Usai PSBB Transisi', Sabtu (4/7).
Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan.
"Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat," imbuh Pandu.
"Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius," kata Pandu.
(fas/azr)