Peneliti LIPI Jelaskan Kendala Pelaku Pengantin Pesanan China Sulit Ditindak

Peneliti LIPI Jelaskan Kendala Pelaku Pengantin Pesanan China Sulit Ditindak

Yulida Medistiara - detikNews
Jumat, 03 Jul 2020 20:23 WIB
Ilustrasi perdagangan orang/prostitusi (Fuad Hashim/detikcom)
Foto: Ilustrasi perdagangan orang/prostitusi (Fuad Hashim/detikcom)
Jakarta -

Peneliti P2 Kewilayahan LIPI, Wabilia Husnah, menjelaskan kendala pelaku perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan ke China sulit ditindak. Ia mengatakan korban dan pelaku seolah-olah benar-benar menikah karena memiliki dokumen resmi.

Wabilia mengatakan korban pengantin pesanan yang berasal dari Indonesia memiliki beragam latar belakang agama apa saja, beragam latar belakang pendidikan dan ekonomi. Ia mengatakan misalnya korban berlatar belakang agama Islam, yang mana pernikahan itu benar-benar dilakukan secara agama, terdapat saksi, ijab-kabul, bahkan ada surat nikahnya.

"Faktanya bahwa jumlah perdagangan pengantin agama Islam itu justru banyak. Karena, menurut informasi dari korban penyintas, mereka menikahnya dengan cara Islam. Jadi, dalam pernikahan ini ada KUA-nya, ada penghulunya, ada saksinya, dan si laki-laki ini harus mengucapkan dua kalimat syahadat dulu sebelum ijab-kabul dan secara Islam," kata Wabilia dalam diskusi bertajuk 'Praktik Pengantin Pesanan dari Indonesia ke Tiongkok' yang disiarkan di YouTube Kewilayahan LIPI, Jumat (3/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wabilia mengatakan hal tersebut kemudian menjadi tantangan bagi diplomat RI yang akan menindaklanjuti dan menyelamatkan korban. Sebab, sebut dia, terdapat dokumen pernikahan resmi yang dapat ditunjukkan.

"Jadi ini cukup menyulitkan, karena terlihat seakan-akan memang benar-benar pernikahan. Banyak juga yang mendapatkan buku nikahnya. Seolah-olah ini adalah bentuk pernikahan, bukan perdagangan orang," katanya.

ADVERTISEMENT

Diketahui, awalnya pria China bekerja sama dengan makcomblang untuk mencarikan istri. Pria China tersebut memberikan uang Rp 400 juta kepada makcomblang. Bila terjadi pernikahan, si korban mempelai wanita mendapatkan uang mahar Rp 20 juta.

Wabilia mengatakan perempuan tersebut pada awal perekrutan oleh makelar atau biasa disebut makcomblang diminta melakukan pernikahan secara agama. Karena itu, pihak orang tua korban menyetujui dilakukannya pernikahan.

"Bahkan, ada informasi yang saya dapatkan, di awal si perempuan ini direkrut oleh makelar, makelar langsung mengatakan bahwa pernikahan ini akan dilakukan secara Islam dan laki-laki ini akan menjadi mualaf. Jadi keluarga perempuan sudah diberi tahu bahwa ini akan dilakukan secara Islam. Oleh sebab itu, banyak orang tua yang menyetujui anaknya akan dinikahkan dengan laki-laki Tiongkok," ungkapnya.

Akan tetapi, siapa sangka, pernikahan pesanan tersebut berujung korban mendapatkan kekerasan seksual, kekerasan fisik. Tak hanya itu, ada korban yang mendapatkan eksploitasi kerja dengan gaji dipotong.

"Mayang menuturkan, selama hidup menjadi pengantin pesanan di Tiongkok, dia sering mengalami tindakan kekerasan fisik psikis dan seksual. Salah satunya Mayang dipaksa segera hamil dan memberikan keturunan kepada suaminya," ungkap Wabilia.

Ia mengatakan pernikahan pesanan ini sudah memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang. Sebab, telah ada unsur perekrutan, ada makelar, pengangkutan para korban dipindahkan dari daerah ke daerah lain. Selain itu identitas korban sering diubah.

"Ini terlihat dalam praktik-praktik di mana ada ketimpangan relasi. Ada relasi kuasa dalam praktik pengantin pesanan ini antara makelar dengan calon korban. Makelar akan selalu ada di posisi yang lebih tinggi dibanding perempuan, berada di posisi yang sangat rentan," katanya.

"Tujuannya adalah eksploitasi, eksploitasi tenaga ada yang dijadikan tenaga kerja, ada juga yang jadi eksploitasi pesanan. Ada juga yang dijual lagi untuk menjadi perempuan pekerja seksual. Jadi ada tujuan eksploitasi. Menurut saya, ini bisa dikategorikan unsur tindak pidana sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO," sambungnya.

Senada dengan Wabilia, peneliti P2 Kewilayahan LIPI Saiful Hakam mengatakan para diplomat di KBRI memiliki tantangan untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap korban. Sebab, korban telah memiliki dokumen pernikahan, sehingga sering kali oleh kepolisian setempat di Tiongkok dinilai masuk ke ranah privat.

"Jadi, yang menjadi dilema bagi para diplomat kita adalah untuk mengintervensi perempuan yang merasa dibohongi, adalah ini sangat legal. Jadi, mereka ini ada surat nikahnya, dan untuk intervensi ini, ini adalah ranah privat, rumah tangga, dan ini melibatkan kepolisian di Tiongkok," ujar Saiful.

Ia mengatakan justru ini merupakan tantangan bagi diplomat untuk mengungkap kasus tersebut. Ia mengatakan sering kali justru yang membantu para korban adalah mahasiswa.

"Ini jadi ranah baru bagi kajian diplomat juga, ya. Kalau migran jelas, ya, orang buruh migran sebagai tenaga kerja pembantu, gitu misalnya. Masalahnya ini adalah pengantin. Jadi, ada ranah privat, rumah tangga," sambungnya.

Sebelumnya, Kedutaan Besar RI di Beijing memulangkan 40 Warga Negara Indonesia (WNI) perempuan yang menjadi korban kasus pengantin pesanan di China sepanjang Tahun 2019. KBRI Beijing menyebut banyak menerima pengaduan terkait perdagangan WNI di China.

"Sebanyak 40 orang yang kami pulangkan tersebut masuk dalam kategori TPPO (tindak pidana perdagangan orang)," ujar Duta Besar RI untuk China, Djauhari Oratmangun dilansir Antara, Selasa (7/1).

Halaman 2 dari 2
(yld/zak)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads