Gubernur Kalbar Tak Setuju Swasta Tes PCR: Harusnya Satu Pintu!

Gubernur Kalbar Tak Setuju Swasta Tes PCR: Harusnya Satu Pintu!

Idham Kholid - detikNews
Jumat, 03 Jul 2020 13:07 WIB
Gubernur Kalbar Sutarmidji
Foto: Gubernur Kalbar Sutarmjidji. (Dok APPSI)
Jakarta -

Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji mengaku tidak setuju Kementerian Kesehatan mengizinkan pihak swasta melakukan tes PCR terkait Corona. Sutarmidji mengatakan harusnya di bawah kendali pemerintah semua.

Sutarmidji awalnya bicara soal penanganan kasus COVID-19 di daerahnya. Dia mengatakan koordinasi antarkota/kabupaten selalu ditingkatkan.

"Kemudian rapid test itu harus sebanyak-banyaknya, karena tidak ada media lain untuk jaring orang yang terpapar virus. Tak ada media lain selain rapid test. Pengalaman saya, daerah yang paling banyak melakukan rapid test ini tingkat keterjangkitannya semakin kecil," kata Sutarmidji dalam konferensi pers yang disiarkan live di channel Youtube BNPB Indonesia, Jumat (3/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Pontianak, Sutarmidji mencontohkan, awalnya kasus positif 117. Bahkan diperkirakan 40 persen masyarakat Pontianak itu terdampak. Karena dilakukan rapid test sampai 23 ribu orang, maka kini Pontianak kasusnya relatif hampir tidak ada dalam 2 minggu terakhir.

"Kalau pun satu satu ya. Yang menarik di Kalbar ini, dari 336 kasus, 20 persen itu perawat dan dokter. Artinya yang saya lihat, mereka-mereka yang terjangkit, terpapar virus positif, kalau dari sisi ekonomi ini sebenarnya orang yang tidak harus terdampak, karena mereka paham, tahu bagaimana menghindarinya. Bukan masyarakat biasa, bahkan ada pengusaha, anggota DPRD, kemudian ya pegawai negeri, masyarakat yang berkeruman itu tidak, nah yang saya harus jaga sekarang ini," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Tonton video 'Jokowi Soroti Penolakan Rapid Test-PCR Corona Oleh Warga':

Sutarmidji mengatakan saat ini tingkat kesembuhan di Kalbar di atas 82 persen. Karenanya, yang perlu dijaga adalah imunitas dengan memberi asupan makanan yang sama seluruh Kalbar.

"Saya pantau betul rumah sakit tiap pagi harus kirim menunya apa ke saya, ke HP saya, supaya saya bisa kontrol itu benar nggak mereka dikasih. Terus kita evaluasi tingkat kesembuhannya itu berapa hari. Kemudian jumlah daerah yang melakukan rapid test berapa hari. Bisa saja kita mau bilang daerah kita hijau, kita nggak usah lakukan rapid test. Berarti kan nggak ada kasus, padahal itu semu sebenarnya," ucapnya.

Sebetulnya, menurut Sutarmidji, yang paling bagus bukan dari awal zona hijau. Sebab jika tidak ada dilakukan rapid test, maka otomatis hijau. Tapi yang hebat adalah bagaimana zona merah kemudian jadi orange, kuning, kemudian hijau.

"Hanya saja kita harus satu bahasa ya, satu standar," ujarnya.

Sutarmidji lalu mengatakan tidak setuju swasta diizinkan tes PCR. Dia menjabarkan alasannya.

"Saya sebenarnya nggak setuju itu ketika Departemen Kesehatan memberi izin swasta untuk melakukan PCR, semisalnya ada satu P****a. Karena kandungan virus yang dia buat standar untuk positif itu tinggi, sehingga bahaya bagi kita. Sekarang kalau 9.000 misalnya. sedangkan standar yang Kementerian Kesehatan 4.500. Nah apakah 9.000 kandungan virus di dalam PCR swab seseorang itu bisa dikatakan dia tidak bisa menularkan? Bisa saja," ujarnya.

Menurut Sutarmidji, harusnya semua di bawah kendali pemerintah. Dia mengatakan harus satu pintu jika ingin cepat selesai.

"Harusnya, harus di bawah kendali pemerintah semua. Belum lagi nanti ada RS Gatot Subroto boleh, mereka boleh kirim. Rumah Sakit yang di bawah TNI boleh kirim ke sana, nah kalau dia tidak koordinasi ke kita kan repot juga itu, nah harusnya semuanya satu pintu kalau mau cepat selesai, standarnya pun harus sama," ujarnya.

"Makanya kita punya PCR di Unversitas Tanjung Pura itu awalnya kandungan virus 250 dikatakan positif, ini terlalu rendah, akhirnya kita sesuaikan dengan yang di Kementerian Kesehatan. Jadi banyak hal yang tidak terkoordinasi dengan baik," tuturnya.

Halaman 2 dari 2
(idh/tor)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads