Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Papua Ditjen Kebudayaan Kemendikbud mengatakan masih meneliti asal muasal bahasa di lagu Yamko Rambe Yamko. BPNB tidak sepakat jika langsung disimpulkan bahwa lagu itu bukan dari Papua.
"Untuk terbaru, kami rencana mau adakan webinar, tapi kami petakan dulu untuk narasumber-narasumber yang kompeten. Sehingga nanti bisa diikuti oleh seluruh orang Indonesia yang ingin tahu. Memang di dalam lagu itu dua bahasa besar Papua, Austronesia dan Papua. Jadi lagu itu menyatukan dua bahasa dalam satu rangkaian kalimat dan jadi lagu," kata Kepala UPT BPBN Papua Dessy Polla Usmani saat dihubungi detikcom, Selasa (30/6/2020).
Soal kepastian bahasa, Dessy mengatakan belum ditemukan merujuk pada satu suku. Di Papua, ada dua bahasa besar, yaitu Austronesia dan Papua. Pengaruh dua bahasa itu ada dalam lagu Yamko Rambe Yamko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seperti ade, ade dalam bahasa Lembah Baliem, dalam bahasa-bahasa pegunungan itu artinya kan noken, pegangan, atau kantong. Seperti ko dalam bahasa biak 'kita'. Jadi kan dua bahasa ini disatukan dalam satu nyanyian itu. Kemungkinan yang mengarang ini dia memiliki dasar pemikiran untuk menyatukan berbagai bahasa itu di dalam satu nyanyian," ujarnya.
"Jadi sebenarnya kami sudah berbincang dengan pakar linguistik, penjelasannya seperti itu, nyanyian itu terdiri atas dua bahasa besar di Papua, pengaruh Austronesia dan bahasa Papua," imbuhnya.
Karena itu, dia tidak sepakat jika langsung disimpulkan lagu Yamko Rambe Yamko bukan dari Papua. Tapi diteliti dahulu. Selain itu, dari 300 bahasa di Papua, kini tinggal 200-an.
"Kalau saya sih berpikir begini, kita tidak bisa langsung menyimpulkan, karena seperti--coba diperhatikan--sedangkan di Manokwari saja baru-baru ada bahasa yang punah. Jadi belum tentu (bukan Papua)," ujarnya.
Dia menekankan pihaknya mencari bahasa itu apakah penuturnya memang berkurang. Dia membandingkan pemahaman anak-anak generasi soal tulisan 'punah' yang dulunya ditulis 'poenah'.
"Jadi nggak bisa langsung bilang bukan Papua, saya nggak mau begitu, saya mencari bukti dulu. Iya (dari 300 bahasa) tinggal 200-an bahasa, apakah dia masuk di situ," tuturnya.
"Karena ada yang menyanyikan berarti ada yang menuturkan," imbuhnya.
Dessy mengakui penelitian ini tidak instan seminggu langsung membuahkan hasil. Mereka sedang menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk menggali termasuk mengadakan web-seminar atau webinar.
Para pakar hingga peta persebaran bahasa akan dibuka. Termasuk tokoh-tokoh dari bahasa-bahasa tua di Papua.
"Bahasa-bahasa tua, orang sebut bahasa-bahasa tanah atau bahasa kuno. Mereka ini tokoh-tokoh adat. Siapa tahu itu bagian dari bahasa tanah itu," tuturnya.