"Menyatakan Terpidana Atto Sakmiwata Sampetoding telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana," demikian petikan putusan PK bernomor 108 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip detikcom, Selasa (23/6/2020). Ketua majelis hakim PK ini yaitu Hakim Agung Suhadi.
MA melepaskan Atto dari segala tuntutan hukum. MA juga memulihkan harkat dan martabat Atto.
"Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti semula," lanjutan putusan tersebut.
Kasus yang menjerat Atto bermula saat perusahaannya mengekspor nikel ke China dalam bentuk mentah sebanyak 222 ribu mt dengan harga Rp 78 miliar pada 2010. Penjualan nikel itu atas perjanjian jual beli dirinya dengan Pemda Kolaka.
Belakangan terjadi selisih harga Rp 24 miliar. Jaksa lalu menggelar penyidikan ekspor nikel yang dikeruk dari bumi Sulawesi itu.
"Jika memperhatikan proses terjadinya dan pelaksanaan dari perjanjian jual beli antara Pemerintah Kabupaten Kolaka dengan PT Kolaka Mining International, maka perjanjian jual beli tersebut merupakan 'penyelundupan hukum' dan merupakan indikator terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding sebagai perantara (trader), dalam penjualan nikel kadar rendah milik Pemerintah Kabupaten Kolaka tersebut," kata jaksa.
Menurut jaksa, kedudukan Atto dalam transaksi tersebut sebagai perantara (trader) yang mencari keuntungan dengan mengorbankan negara. Hal ini dinilai jaksa tidak sejalan dengan rumusan hukum hasil musyawarah Rapat Pleno Kamar Pidana di Tangerang pada 8-10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang disimpangi dan telah menimbulkan kerugian negara maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Atas modal argumen tersebut, jaksa melawan putusan Pengadilan Tipikor Kendari yang membebaskan Atto. Pendapat ini dikabulkan MA.
"Menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara," demikian putus MA sebagaimana dilansir websitenya, Minggu (13/3/2016).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Zaharuddin Utama dengan anggota LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago. Majelis sepakat merampas aset pribadi Atto karena kasus itu terjadi pada 25 Juni 2010 sedangkan PT Kolaka Mining Internasional baru didirikan pada 17 Desember 2010.
"Menghukum terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding membayar uang pengganti Rp 24 miliar dikurangi nilai rumah terdakwa yang disita sebesar Rp 3,4 miliar=Rp 20,6 miliar kepada negara. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Dalam hal harta benda terpidana tidak mencukupi untuk membayar maka diganti pidana selama 4 tahun," putus majelis.
Namun putusan ini tidak bulat. Hakim LL Hutagalung menyatakan kasus di atas merupakan kasus perdata dan sebagai pedagang Atto berhak mendapatkan untung. Sebagai pedagang, menjual lebih tinggi dari harga pembelian adalah wajar karena sebagai pedagang berhak mendapatkan untung.
"Maka perkara a quo adalah sengketa perdata, bukan ranah pidana/tipikor," cetus LL Hutagalung.
Tapi pendapat LL Hutagalung kalah suara dengan dua hakim lainnya sehingga putusan diketok dengan suara terbanyak.
Kini, seperti disebut di atas MA membebaskan Atto dari segala tuntutan hukum. (tor/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini