Implementasi Epistimologi Makrifah

Al-Ta'lim al-Muta'allim (3)

Implementasi Epistimologi Makrifah

Lusiana Mustinda - detikNews
Senin, 22 Jun 2020 07:00 WIB
Nasaruddin Umar
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Foto: Ilustrasi Mindra Purnomo
Jakarta -

Epistimologi makrifah bukan hanya muncul sebagai wacana tetapi sudah terimplementasi di dalam tradisi di dalam masyarakat. Di lingkungan Pondok Pesantren dan kalangan dunia tasawuf sudah lama diimplementasikan epistimologi ini. Bahkan menurut mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis. Di antaranya ialah:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui" (Q.S. al-Baqarah/2:151).

ADVERTISEMENT


Dalam ayat di atas, Allah Swt mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta'lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifah sebagaimana banyak dipraktekkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid sangat sayang dan respek terhadap guruhnya. Mereka terkesan dengan sebuah qaul: al-ustadz amam al-murid ka al-nabiyy amam al-shahabah (guru di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat). Prilaku kritis berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencita makrafat. Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadu'an seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiyai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan.

Nabi Musa juga dipersyaratkan untuk tidak terlampau banyak menggunakan logika kalau mau ikut ngaji ke Kang Khidhir, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat:


قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا


"Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (Q.S. al-Kahfi/17:70).


Menurut Ahmad Ibn Atho'berkomentar: "Makrifat itu memiliki tiga rukun yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah". Jadi memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrfifat ialah kebrsihan batin. Untuk itu penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niyat yang tulus merupakan persyaratan mutlah yang harus diwujudkan di dalam diri para peserta didik.


Pada dasarnya manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat, hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini antara lain: fas'alu ahl al-dzikr inkuntum la ta'lamun. (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalin tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, Tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.

(lus/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads