Jakarta -
Muhammad Nazaruddin telah menghirup udara bebas. Namun, status justice collaborator atau JC pada terpidana kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang itu kini melahirkan polemik.
Nazaruddin awalnya sempat bikin heboh saat dirinya kabur ke luar negeri pada 23 Mei 2011. Pelarian itu dilakukan beberapa jam sebelum Dewan Kehormatan Demokrat mengumumkan pemecatannya.
Kemudian, KPK mengatakan Nazaruddin telah berstatus tersangka. Pengejaran Nazaruddin pun dilakukan. Dia ditetapkan sebagai buronan interpol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya pada 8 Agustus 2011, Menko Polhukam saat itu, Djoko Suyanto, memberitahukan kabar penangkapan Nazaruddin di Kolombia. Tim gabungan memverifikasi penangkapan Nazaruddin.
Nazaruddin kemudian menjalani proses hukum. Dia dipidana kurungan selama 13 tahun untuk 2 kasus. Terkait kasus yang menjeratnya, Nazaruddin telah menjadi JC dan mendapat remisi.
Kasus pertama yang menjerat Nazaruddin adalah kasus suap wisma atlet, di mana Nazaruddin terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar dari mantan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) M El Idris. Vonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp 200 juta dibebankan kepada Nazaruddin pada 20 April 2012. Namun vonis itu diperberat Mahkamah Agung (MA) menjadi 7 tahun dan denda Rp 300 juta.
Kemudian kasus kedua berkaitan dengan gratifikasi dan pencucian uang. Dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang dari PT DGI dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.
Pada Minggu 14 Juni 2020, suami Neneng Sri Wahyuni ini akhirnya dibebaskan dari Lapas Sukamiskin.
"Pada hari Minggu 14 Juni 2020, dikeluarkan satu orang WBP (warga binaan pemasyarakatan) atas nama M Nazaruddin untuk melaksanakan cuti menjelang bebas," ucap Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Jabar Abdul Aris via pesan singkat, pada Selasa (16/6/2020).
Aris menyatakan sebelum dibebaskan, Nazaruddin dihadapkan terlebih dahulu ke petugas Badan Pemasyarakatan (Bapas) Bandung.
Tonton juga video 'Remisi 4 Tahun 1 Bulan, Kini Nazaruddin Bebas':
Aris menambahkan pemberian cuti menjelang bebas ini berdasarkan surat keputusan Menteri Hukumndan HAM RI nomor : PAS-738.PK.01.04.06 tahun 2020 tanggal 10 Juni 2020 tentang cuti menjelang bebas atas nama Muhammad Nazaruddin bin Latief (alm).
"WBP atas nama Muhammad Nazaruddin Bin Latief (Alm) selanjutnya menjalani CMB mulai tanggal 14 Juni 2020 dan berakhir pada tanggal 13 Agustus 2020 dengan pengawasan dan bimbingan dari Bapas Bandung sesuai domisili penjaminnya," katanya.
Padahal, Nazaruddin seharusnya bebas murni pada 2025 tetapi melalui remisi yang didapatnya maka Nazaruddin memperoleh cuti menjelang bebas (CMB).
Melalui keterangan pers yang disampaikan Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Rika Aprianti disebutkan adanya penjelasan mengenai status saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator atau JC pada Nazaruddin. Menurut Ditjen PAS, status JC itu berasal dari KPK.
"Narapidana atas nama Muhammad Nazaruddin telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator oleh KPK berdasarkan surat nomor R-2250/55/06/2014 tanggal 9 Juni 2014 perihal surat keterangan atas nama Muhammad Nazaruddin dan surat nomor R.2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017 perihal permohonan keterangan telah bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Muhammad Nazaruddin," ujar Rika dalam keterangan persnya pada Rabu, 17 Juni 2020.
Rika turut menjelaskan bila Nazaruddin bebas melalui CMB pada 14 Juni 2020. Total hukuman Nazaruddin adalah 13 tahun penjara dari 2 perkara yakni korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang pada 2012 dan pencucian uang pada 2016. Hukuman 13 tahun penjara untuk Nazaruddin dijalaninya sejak 2012 sehingga seharusnya dia baru akan bebas pada 2025 bila tidak mendapat remisi.
Mengenai status Nazaruddin sebagai Justice Collaborator (JC), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya argumen berbeda.
KPK menegaskan tidak pernah menetapkan Nazaruddin sebagai JC. Plt Jubir KPK Ali Fikri menyebut pihaknya menerbitkan surat keterangan bekerja sama dengan Nazaruddin pada 2014 dan 2017.
"KPK pada 9 Juni 2014 dan 21 Juni 2017 menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk M Nazaruddin karena yang bersangkutan sejak proses penyidikan, penuntutan, dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, perkara pengadaan e-KTP di Kemendagri, dan perkara dengan terdakwa Anas Urbaningrum, serta atas dasar M Nazaruddin telah membayar lunas denda ke kas negara," papar Ali.
"Dengan demikian, surat keterangan bekerja sama tersebut menegaskan bahwa pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M Nazaruddin sebagai justice collaborator (JC)," sambung dia.
Ali kembali menyatakan KPK tidak pernah menetapkan Nazaruddin sebagai JC. Sebab, saat Nazaruddin bekerja sama menguak sejumlah kasus, perkara yang menjeratnya telah berkekuatan hukum tetap.
"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ. Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerja sama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerja sama pada pengungkapan perkara, dan perlu diingat saat itu dua perkara MNZ telah inkrah," sebut Ali.
Bahkan, KPK mengaku beberapa kali menolak permintaan rekomendasi yang diajukan terpidana kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang M Nazaruddin untuk mendapatkan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat. KPK meminta Ditjen Pas lebih selektif dalam memberikan hak-hak warga binaan kepada terpidana kasus korupsi.
Sementara itu, mengenai JC disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Disebutkan dalam UU itu bila JC adalah Saksi Pelaku.
Berdasar Pasal 1 ayat 2 disebutkan Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
Disebutkan pula mengenai adanya 'keistimewaan' untuk Saksi Pelaku, yaitu seperti tercantum dalam Pasal 10A ayat 1 dan 3 UU 31 Tahun 2014 itu. Berikut bunyinya:
Pasal 10A
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan
(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana
Selain dalam UU itu ada pula rujukan mengenai JC pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana atau Whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama atau Justice Collaborator di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dalam SEMA itu disebutkan yang dimaksud dengan Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Pada angka 9 SEMA itu disebutkan sebagai berikut:
Pedoman untuk menemukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset hasil suatu tindak pidana;
c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerja Sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:
i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini