Selama ini, menurut Benny, biaya per pekerja sebesar Rp 14-17 juta, dan Rp 33 - 39 juta khusus untuk Hong Kong dan Taiwan. Biaya sebesar itu biasanya mereka dapatkan lewat pinjaman lembaga keuangan (multifinance) dan koperasi dengan bunga 21%. Padahal kalau meminjam lewat perbankan biasa bunganya (KUR) cuma 6%.
"Jadi lembaga pinjaman itu seolah sinterklas, padahal prakteknya melebihi rentenir. Sebab dengan bunga setinggi itu gaji para pekerja akhirnya habis untuk mencicil pinjaman," kata Benny dalam program Blak-blakan yang tayang di detik.com, kemarin.
Politisi Partai Hanura itu menyadari kebijakan tersebut tak akan disenangi pihak-pihak yang selama ini menikmati rente. Karena itu lelaki yang lahir di Cimahi dan besar di Bolaang Mongondow siap menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa menimpanya.
"Takut atau berani, kiya tetap akan mati. Jadi, daripada mati dalam ketakutan lebih baik mati sebagai pemberani," ujarnya.
Selain menghapus biaya penempatan, Benny juga akan membentuk Satgas Pemberantasan Sindikasi PMI nonprosedural. Dia juga mengedepankan penegakkan hukum bekerja sama dengan Bareskrim Mabes Polri.
"Dalam dua tahun terakhir ada 415 pengaduan kasus ABK yang masuk ke BP2MI ternyata tak satupun yang sampai ke pengadilan. "Tidak ada P-21 (berkas penyidikan dilimpahkan ke pengadilan), yang ada sepertinya P-86 (diselesaikan di bawah meja) alias cincay," kata Benny. (jat/jat)