Swab, PCR, New Normal adalah beberapa terminologi yang sedang trend secara global. Swab adalah usaha mengambil sampel lendir dari rongga hidung dan tenggorokan seseorang untuk mengetahui keberadaan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Setelah dilakukan swab lalu dilanjutkan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Hasil swab merupakan indikator (nilai tes/uji) penting bagi suatu populasi apakah sudah waktunya dimulai kehidupan new normal atau masih menunggu. Semakin tinggi hasil negatif dari swab yang dilakukan semakin tiba new normal. Ialah kehidupan normal yang baru. Disebut baru karena kehidupan new normal memiliki tingkat higienitas yang berkualitas lebih sempurna. Yaitu kehidupan dengan tingkat kebersihan lebih sempurna dari sisi fisik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu bagaimana dengan nonfisik. Bukankah manusia merupakan mahluk fisik sekaligus nonfisik.
Boleh jadi sangat mengandung hikmah, kalau pandemik Covid-19 'bersamaan' waktunya dengan diwajibkannya orang-orang beriman menjalankan ibadah puasa ramadlan. Sudah jamak dipahami bahwa puasa ramadlan mewajibkan para pelaksananya menjadi semakin taqwa. Ialah kehidupan yang memiliki tingkat kebersihan lebih sempurna secara fisik, terlebih secara nonfisik. Kebersihan nonfisik adalah kebersihan diri dari perbuatan keliru atau dosa. Semakin tinggi kualitas taqwa seseorang dia memiliki kedudukan semakin mulia (QS 49:13). Lalu bagaimana melakukan 'swab' nonfisik ini?
Swab nonfisik dilakukan untuk menilai kualitas kemuliaan seseorang berdasarkan kualitas takwanya. Taqwa merupakan kondisi nonfisik dan fisik yang terus berupaya menyempurnakan ketaatan kepada Tuhan. Ketaatan di dalam menjalankan perintah, juga ketaatan di dalam menjauhi apa-apa yang dilarang Tuhan berdasar iman kepadaNya.
Salah satu larangan yang diwajibkan bagi orang-orang beriman untuk dijauhi adalah rasisme. Yaitu melakukan penilaian derajat kemuliaan seseorang melalui indikator fisik, antara lain warna kulit.
Dalam beberapa pekan ini media mainstream internasional dan nasional ramai memberitakan kasus pembunuhan George Floyd di Minneapolis Amerika Serikat (25/5). Floyd dibunuh oleh seorang oknum polisi Amerika Derek Chauvin. Loyd adalah Afro American yang berkulit hitam, sedangkan Chauvin adalah oknum polisi berkulit putih. Celakanya, Loyd dibunuh bukan karena alasan yang pantas, tetapi lebih bernilai rasisme warna kulit.
Marak terkesan bahwa pemerintah Amerika di bawah Donald Trump belum melakukan tindakan yang memenuhi nilai keadilan terhadap perlakuan Chauvin. Peristiwa ini menyulut demontrasi besar-besaran di Amerika, kerusuhan, penjarahan dan lain-lain akibat simpanan problema yang telah berlangsung lama, yaitu rasisme yang menjadi api dalam sekam.
Taqwa Bersih dari Rasisme
Dalam sebuah majelis sebelum Rasulullah Muhammad saw. hadir, beberapa sahabat tengah membincangkan sesuatu yang dianggap pelik. Hingga sampai pada pembicaraan tertentu, timbul perselisihan dua sahabat, yakni Bilal ibn Rabah dan Abu Dzar al-Ghiffari.
"Aku mengusulkan agar demikian dan demikian," usul Abu Dzar kepada para sahabat.
Mendengar gagasan Abu Dzar yang dinilai kurang tepat, Bilal pun menyela, "Tidak, wahai Abu Dzar. Hal itu kurang tepat menurutku."
Abu Dzar kaget, di bawah sadar ia berkomentar pedas, "Beraninya kamu menyalahkanku wahai anak perempuan berkulit hitam! "
Bilal tersentak, sambil berdiri ia berkata, "Demi Allah, aku akan mengadukan ini kepada Rasulullah."
Lalu Bilal meninggalkan majelis dan menghadap Rasul. Ia menyampaikan, "Wahai Rasulullah, maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abu Dzar kepadaku?"
Rasulullah saw. menyambut, "Apakah yang telah dikatakannya?"
"Dia telah berkata begini dan begitu," Bilal mengadu.
Segera saja tampak kekecewaan di wajah Rasul.
Sementara itu di tempat lain rasa gelisah menyelinap relung dada Abu Dzar. Ia khawatir kalau-kalau Rasulullah murka. Serentak saja ia bergegas menuju kediaman Rasul.
"Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya (kebangsaannya)? Rupanya masih ada dalam dirimu sifat jahiliyah," sambut Rasul atas kedatangan Abu Dzar sembari mengucap salam.
Bagai halilintar menyambar, Abu Dzar lunglai di hadapan Rasul. Ia menangis sejadi-jadinya. Kepada Rasul lantas ia memohon, "Wahai Rasulullah, mohonkan ampunan Allah swt. untukku. Beristighfarlah untukku."
Lalu Abu Dzar bergegas menuju masjid mengejar Bilal yang terlebih dahulu pulang.
Di sepanjang jalan, Abu Dzar penuh rasa gelisah dan penyesalan. Air matanya terus berlinang. Setelah berjumpa dengan Bilal, ia langsung berkata seraya menghempaskan pipinya ke permukaan tanah, "Demi Allah, wahai Bilal. Aku tidak akan mengangkat pipiku, kecuali engkau menginjaknya dengan kakimu. Engkaulah orang yang mulia dan akulah yang hina."
Demi menyaksikan permohonan Abu Dzar, Bilal terjatuh dalam iba yang sangat dalam. Ia merundukkan tubuh lantas menempelkan pipinya ke pipi Abu Dzar, sambil berkata, "Semoga Allah mengampunimu, Abu Dzar. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di muka yang penuh cahaya karena bersujud kepada Allah itu." Keduanya lalu menangis dan akhirnya berpelukan, tanda Bilal memaafkan.
Swab taqwa merupakan satu jenis tes apakah Bangsa Indonesia sudah pantas menjamu kehidupan new normal terutama secara nonfisik. Kehidupan yang antara lain bercirikan bersih dari rasisme dan bersih dari diskriminatif yang lain. Kemuliaan hakiki hanya di-swab dari tingkat ketakwaan seseorang.
Semoga semua kita siap menjamu kehidupan new normal dengan taqwa yang sempurna, aamiin.
Abdurachman
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pembaca
(erd/erd)