WHO memutuskan melanjutkan ujicoba obat malaria hidroksiklorokuin setelah penelitian yang menyebut obat itu dianggap meningkatkan risiko kematian pada pasien virus corona, telah ditarik kembali karena masalah data. Lima perhimpunan organisasi profesi kedokteran merekomendasikan penggunaan obat klorokuin untuk perawatan pasien Corona (COVID-19).
"Surat tersebut memang pernyataan kami bersama dari 5 Organisasi Profesi yang terkait erat dalam penatalaksanaan pasien-pasien COVID-19, khususnya berkaitan dengan terapi klorokuin/hidroksiklorokuin," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Sally Aman Nasution, saat dikonfirmasi.
Sally mengatakan surat rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan bersama karena kajian ilmiahnya (systematic review) dibuat secara bersama-sama. Adapun 5 organisasi profesi yang membuat pernyataan itu adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Perhimpunan Dokter Anastesiologi, dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat rekomendasi itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Anjuran penggunaan obat klorokuin untuk pasien COVID-19 harus berdasarkan dosis sesuai protokol COVID-19 dari 5 organisasi profesi kedokteran.
"Untuk itu, kami 5 organisasi profesi yang terdiri dari PDPI, PAPDI, PERKI, PERDATIN, dan IDAI merekomendasikan pemberian hidroksilorokuin/ klorokuin fosfat untuk penatalaksanaan COVID-19 di Indonesia masih dapat dilakukan dengan dosis sesuai protokol tatalaksana COVID-19 dari 5 OP (organisasi profesi)," bunyi surat rekomendasi itu.
Sementara itu untuk pasien anak dengan kondisi berat-kritis, dianjurkan pemberian hidroksiklorokuin harus dengan pemantauan dan pertimbangan khusus. Selain itu pemberian hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat tidak dianjurkan kepada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dan tidak diberikan pada pasien kritis yang masih dalam keadaan syok dan aritmia.
"Memperhatikan untuk yang komorbid terutama komorbid kardiovaskular, perlu adanya penjelasan informasi terkait indikasi dan efek samping obat yang mungkin dapat terjadi sebelum diberikan obat hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat. Pasien yang mendapatkan hidroksiklorokuin/ klorokuin fosfat perlu dilakukan pemantauan QT dan EKG sesuai protokol tatalaksana COVID-19 dari 5 OP," bunyi surat itu.
Rekomendasi terakhir, obat hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat tidak diberikan kepada pasien rawat jalan. Dalam akhir surat itu 5 organisasi profesi menyebutkan rekomendasi ini bersifat sementara dan dapat berubah sesuai perkembangan terkini.
Disampaikan pula di surat rekomendasi itu sejumlah fakta penggunaan obat klorokuin di Indonesia. Pertama hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat merupakan obat yang murah, tersedia sampai pelosok Indonesia dan Indonesia sudah terbiasa menggunakan obat ini selama bertahun-tahun untuk pengobatan Malaria dan autoimun.
Lebih lanjut, beberapa negara seperti Bangladesh dan India masih menggunakan hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat. Kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia yang masih terus meningkat sehingga membutuhkan tata laksana yang disepakati bersama dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan dan ketersediaan obat tersebut di seluruh wilayah Indonesia.
Obat sebagai terapi definitif COVID-19 masih belum ditemukan, walaupun beberapa antivirus sudah banyak digunakan dan dilakukan penelitian di seluruh dunia. Dari data penelitian kasus 5 organisasi profesi kedokteran tidak ditemukan hubungan klinis terhadap efek samping atau peningkatan kematian.
"Dari beberapa laporan kasus yang ada dan penelitian yang sedang dilakukan oleh PDPI, PAPDI, maka didapatkan hasil sementara tidak didapatkan hubungan bermakna secara klinis dan statistik hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat dengan peningkatan kematian atau efek samping lainnya termasuk aritmia fatal di Indonesia," bunyi surat tersebut.
Penelitian terus dikerjakan untuk mendapatkan data yang valid tentang efektivitas penggunaan hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat di Indonesia. Sementara itu telaah mengenai penelitian Mehra dkk yang menjadi dasar keputusan WHO tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu data yang besar berupa registry, tidak membedakan subjek secara usia dan komorbid, dan dosis hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat yang digunakan dosis yang lebih tinggi seperti yang digunakan di Indonesia.
"Telaah beberapa clinical trial terhadap penggunaan hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat di seluruh dunia masih terus dilakukan," bunyi surat rekomendasi itu.
Sebelumnya, WHO memutuskan melanjutkan uji coba obat malaria hidroksiklorokuin setelah penelitian menyebut obat itu dianggap meningkatkan risiko kematian pada pasien virus Corona, telah ditarik kembali karena masalah data.