Buya Syafii: Tak Bijak Kaitkan Pemakzulan Presiden dengan Kebebasan Berpendapat

Buya Syafii: Tak Bijak Kaitkan Pemakzulan Presiden dengan Kebebasan Berpendapat

Tim Detikcom - detikNews
Selasa, 02 Jun 2020 13:11 WIB
Buya Syafii Maarif di rumahnya, Sleman, Kamis (15/8/2019).
Foto: Buya Syafii Maarif. (Usman Hadi/detikcom).
Jakarta -

Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif mengkritik webminar diskusi soal pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama). Menurut Buya, setiap elemen bangsa seharusnya saling bekerja sama di masa pandemi virus Corona (COVID-19) ini.

"Dalam situasi sangat berat yang sedang dipikul oleh bangsa dan negara Indonesia, kita semua perlu bahu membahu untuk mencari jalan keluar dan menenangkan publik sambil memberi masukan kepada pemerintah agar bekerja lebih kompak dan sinergis," ungkap Buya Syafii dalam keterangannya, Selasa (2/6/2020).

Keterangan tersebut dibagikan oleh mantan Direktur Maarif Institute, Fajar Riza Ulhaq kepada wartawan. "Itu adalah keterangan dari Buya Syafii. Beliau mempersilakan untuk dikutip," kata Fajar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kembali ke Buya Syafii. Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini menilai Mahutama tidak bijaksana lantaran menggelar diskusi soal pemakzulan terhadap presiden, apalagi hal tersebut dikaitkan dengan masalah konstitusional. Menurutnya, diskusi tersebut berpotensi menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.

"Amatlah tidak bijak jika ada sekelompok orang berbicara tentang pemakzulan presiden yang dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas," kata Buya.

ADVERTISEMENT

"Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan bisa juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat," sambungnya.

Sebelumnya diberitakan, PP Muhammadiyah keberatan namanya dicatut dalam diskusi dengan tema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19' itu. Muhammadiyah meminta kepada semua pihak tidak mencatut nama organisasinya saat menggelar diskusi yang berkaitan dengan politik.

"Saya tidak keberatan kalau ada orang atau para pihak bicara dan diskusi tentang menyoal kebebasan berpendapat dan konstitusionalitas pemakzulan presiden di era pandemi COVID-19 apalagi di negeri ini kebebasan berbicara dijamin dan dilindungi oleh UU. Tetapi untuk topik yang seperti ini jangan membawa-bawa nama Muhammadiyah," ujar Ketua PP Muhammadiyah, Abbas Anwar dalam keterangannya di laman resmi Muhammadiyah seperti dilihat, Selasa (2/6).

Tonton juga video 'Trump Lolos dari Pemakzulan, Fadli Zon: Mudah untuk Diprediksi!':

Anwar sangat menyesalkan digelarnya diskusi tersebut. Dia meminta semua pihak agar berkonsultasi dengan Muhammadiyah sebelum membahas diskusi yang membawa nama organisasinya.

"Untuk itu saya sangat menyesalkan dan mengimbau para pihak kalau akan menyelenggarakan acara yang akan menyeret-nyeret nama Muhammadiyah ke ranah politik semestinya sebelum melaksanakannya hendaknya bertanya dan berkonsultasi dulu dengan pimpinan pusat dan atau pimpinan wilayah Muhammadiyah setempat agar hal-hal yang akan mengganggu perjalanan dan perjuangan Muhammadiyah ke depannya akan bisa dijauhi dan dihindari," tegas Anwar.

Mantan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menjadi keynote speaker dalam diskusi daring yang digelar pada Senin (1/6) itu. Dalam webminar tersebut, Din bicara soal kebebasan berpendapat dan mengkritik yang merupakan hak dasar manusia. Menurut dia, ada kondisi tertentu yang membuat mengkritik pemimpinnya.

"Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun konstitusional dictatorship, kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi. Seperti ada produk Perppu menjadi UU dan sejumlah kebijakan lain dan juga kemudian menimbulkan ghairu syaukah, istilah imam Gazali itu tidak ada lagi political power, bukan lagi dapat memimpin dan oleh karena itu masyarakatnya akan mengkritik," ujar Din saat menjadi pembicara kunci dalam webinar yang ditayangkan akun YouTube Mahutama.

Webinar itu kemudian diserang oleh Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando. Ia mengkritik pernyataan Din dalam diskusi tersebut.

"Kalau Din Syamsuddin, nggak akan saya minta maaf, karena bahkan di webinar tersebut bahkan Din Syamsuddin justru menambah persoalan karena dia jadi keynote speaker. Justru dia mengatakan saat ini pemerintah Indonesia sudah memenuhi ciri-ciri pemerintahan yang diktator yang memang memenuhi syarat untuk dimakzulkan, bahkan dia menyarankan masyarakat untuk berani untuk melawan pemerintah," ungkap Ade, Selasa (2/6).

Halaman 2 dari 2
(elz/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads