Komnas HAM Bicara Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Macet Total

Komnas HAM Bicara Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Macet Total

Wilda Nufus - detikNews
Selasa, 12 Mei 2020 20:08 WIB
Komnas HAM Amiruddin
Amiruddin (Foto: Matius Alfons/detikcom)
Jakarta -

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai masa depan penyelesaian HAM berat sangat bergantung pada konstelasi politik hari ini. Pasalnya, kondisi saat ini bukan lagi hanya sekadar pengumpulan bukti perkara belaka.

"Jadi kalau kita bicara bagaimana masa depan proses penyelesaian HAM saat ini, saya ingin katakan bahwa ini sangat bergantung pada bagaimana konstelasi politik hari ini dalam menyikapi isu HAM. Kalau konteks tidak ada, kita akan tetap berada dalam situasi seperti hari ini, itu kunci bukan pada bagaimana cara mengumpulkan bukti atau perintilan-perintilan yang berhubungan dengan apa yang disebut bukti. Kalau hanya sekadar teknik pegumpulan bukti, kita di Republik ini punya kemampuan seperti itu, yang jadi soal adalah belum adanya kemauan untuk memakai itu," kata Ketua tim penyelesaian pelanggaran HAM berat, Amiruddin, dalam diskusi virtual, Selasa (12/5/2020).

Amiruddin mengatakan kenyataan politik saat ini sulit untuk dipisahkan. Dia lantas menyinggung Kejagung yang menolak untuk menindaklanjuti penyelidikan pelanggaran HAM Berat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hari ini kita sesungguhnya melihat kenyataan politik hari ini kita sangat sulit menarik garis demarkasi itu. Saya ingin katakan dalam konteks ini upaya dari Kejaksaan Agung yang terus-menerus menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM adalah ya kondisi hari ini yang kita hadapi hari ini," katanya.

"Kita melihat bahwa simbol-simbol atau orang yang dianggap atau sosok yang diduga bertanggung jawab pada beberapa peristiwa pelanggaran HAM itu, hari ini dia tidak lagi dianggap seperti itu bahkan dia hari ini menjadi bagian dari pembuat kebijakan publik Indonesia, jadi ini situasi yang kita hadapi saat ini," sambung dia.

ADVERTISEMENT

Amiruddin menyebut kondisi objektif inilah yang membuat penyelesaian dugaan pelanggaran HAM menjadi macet total. Komnas HAM merasa kasus ini dibebankan hanya kepada satu lembaga saja.

"Jadi berubahnya kondisi objektif secara politik yang mengakibatkan upaya kita dalam 15 tahun atau 20 tahun terakhir ini menyelesaikan upaya untuk menyelesaikan dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat ini menjadi macet total," ujar dia.

"Dalam kondisi ini saya ingin katakan bahwa undang-undang nomor 26 Tahun 2000 ini tentang pengadilan HAM sesungguhnya juga adalah undang-undang yang tidak berjalan, yang mati suri kecuali hanya Komnas HAM yang memikul beban tehrdap persoalan yang besar itu sendirian," sambung Amiruddin.

Dia lantas memaparkan mengenai 12 peristiwa yang selesai diselidiki Komnas HAM namun tak lanjut ke pengadilan. Penyelidikan itu, kata Amiruddin, tak menghasilkan norma baru.

"Oleh karena itu maka hari ini, kita bisa melihat dari 12 peristiwa yang selesai diselidiki oleh Komnas HAM ini dari 15 peristiwa sesungguhnya tiga peristiwa bisa dibawa ke pengadilan tapi tidak menghasilkan suatu norma hukum yang baru dari proses pengadilan itu dan 12 yang lainnya ini tidak kunjung tindak lanjuti. Kalau kita perhatikan dari 12 yang tidak kunjung diselesaikan ini, kita bisa melihat semua peristiwa itu terjadi di masa otoritarian dan beberapa peristiwa merupakan kelanjutan," ujar dia.

Sementara itu, Mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman menyebut saat ini yang harus diubah adalah definisi korban yang semata-mata bukan hanya dimiliki perorangan tapi juga bangsa secara keseluruhan. Hal ini dilakukan, kata Marzuki, agar memberi rasa keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Kita perlu juga lihat ini dari segi konteks kebangsaan tidak semata-mata dari perkara-perkara satu demi satu, karena di dalam uraian Komnas HAM itu dinyatakan perlu mendorong pemerintah dan langkah-langkah untuk memberi keadilan sesuai dengan aspirasi korban. Nah, pengertian korban inilah yang perlu kita pahami tidak saja dengan para pelaku dan penderitaan dan korban yang terjadi pada masa lalu, tetapi korban dalam pengertian lebih luas adalah bangsa ini secara keseluruhan," katanya.

Sedangkan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyanti menyebut pihaknya melihat masa depan yang suram dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM. Menurutnya, pemerintah saat ini yang tidak menjadikan isu HAM sebagai prioritas.

"Kita harus realistis. Kami KontraS melihat suram penyelesaian pelanggaran HAM, karena begitu banyak hal terkait kemandegan yang terjadi dan kita dihadapkan bagaimana HAM bukan lagi menjadi isu prioritas,"ujarnya.

Kendati demikian, Yati optimistis dengan modal beban sejarah yang bisa diterima, dugaan pelanggaran HAM ini bisa diselesaikan. Ditambah lagi dengan adanya persistensi dari keluarga sebagai bentuk pemulihan.

"Saya rasa kita tetap punya modalitas. Pertama diskursus kasus masa lalu sebagai beban sejarah masih cukup diterma dan diakui sebagai beban sejarah. Tapi sebagai sebuha persoalan, saya bisa klaim itu masih diakui atau kalau kita cukup aktif bagaimana netizen di media sosial kita bisa melihat mereka menggunakan kasus ini sebagai barometer. Kedua, adalah persistensi dari keluarga korban (penyintas) bagaimanapun bentuk pemulihan dan advokatif yg mereka inginkan ini adalah fondasi kita tetap melanjutkan,"imbuhnya.

Halaman 2 dari 2
(knv/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads