Semua ibadah dalam Islam, didesign oleh syaari' --pembuat syariat, sebagai instrumen bagi setiap makhluk bisa dekat Khaliq. Istilah lazimnya ; ber- taqarrub . Tujuannya, apapun jenis dan ragam ibadah tersebut, adalah memperpendek jarak disparitas. Tidak ada ibadah yang ujungnya melebarkan dan menjauhkan jarak antara makhluk dengan khaliq. Apalagi memisahkan hamba dengan Tuhan.
Dalam konteks ini, maka anugerah kedekatan adalah janji Allah yang Dia siapkan bagi siapa saja yang menempuh jalan-jalan keridhaan-- subulus salaam . Tidak semata satu jalan. Kedekatan adalah karunia. Kedekatan adalah nikmat. Bila seseorang yang telah beribadah tapi tidak merasakan kenikmatan dari dan di dalam ibadahnya, maka ia sedang tidak dekat Allah.
Dalam dimensi lain, anugerah kedekatan juga diikhtiarkan semua orang saat mu'amalah sehari-hari. Anak ingin dekat orang tua. Orang tua merasa nikmat jika dekat anak. Begitu juga, pasangan suami isteri ingin selalu saling berdekatan. Santri selalu berharap bisa dekat dengan kyai, murid dengan guru, tetangga dengan tetangga. Kekasih tak ingin berjauhan dari kekasihnya. Untuk mencapai itu, segenap usaha dilakukan.
Mereka, kadang mempertaruhkan banyak hal untuk bisa dekat dan mempertahankan kedekatan. Faktor kedekatan sering jadi alasan seseorang menentukan pilihan. Cari sekolah, tempat pertemuan, masjid, sering juga karena dekat. Bahkan, secara abstrak, seseorang bergabung dalam organisasi A karena kedekatan ideologis. Agak tidak umum, kalau ada yang memilih sesuatu karena alasan tidak dekat.
Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :
اَلسَّخِيُّ قَرِيْبٌ مِنَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيْبٌ مِنَ النَّاسِ ...
Artinya ; "Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dari surga dan dekat dengan manusia."
Dekat adalah anugerah tak ternilai dari Allah. Dekat itu, posisi dan derajat tidak main-main. Pada awalnya, bersama para malaikat, Iblis dekat Tuhan. Sekali menyangkal amar , Tuhan jauhkan dari sisi-Nya. Dekat itu station kelas atas bagi mereka yang menepuh suluk kepada-Nya. Dekat itu maqam paling dicari pemburu mahabbah Allah. Sebaliknya, tidak dekat, jadi isyarat bencana bagi semua.
Lantas, bagaimana kedekatan bisa dirasakan sebagai anugerah dan keberkahan ? Yaitu apabila kita bisa merasakan kenikmatan dalam taqarrub itu. Meski ibadah adalah instrumen kedekatan, tapi jika hilang kenikmatannya, maka konsep dan amaliyah taqarrub-nya perlu disoal. Boleh jadi ada sesuatu yang tidak pas sehingga tidak nikmat beribadah.
Syahdan, begitu yang bisa ditangkap dari cerita Rumi dalam Matsnawi , seseorang bertamu ke Nabi Syu'aib AS. Dengan bangga berkisah bahwa ia termasuk hamba yang dikasih dan disayang Allah. Karena taat ibadan, ia merasa Tuhan tidak menghukumnya meski ia kerap bermaksiat. Ia yakin, maksiatnya tak membuat hidupnya menjadi sempit. Maksiatnya tak menyebabkan kiriman rejeki dari Allah terhenti. Semuanya berjalan normal-normal saja.
Kisah semacam ini, mudah ditemukan dalam kehidupan sehar-hari. Figur tamu Nabi Syu'aib itu, juga tidak sulit kita dapati dalam dunia kekinian. Ada seseorang yang karirnya lancar. Promosinya normal. Kinerjanya membanggakan. Memenuhi syarat dan rukun untuk bisa dinaikkan take home pay -nya. Walhasil, semua on the tract kecuali bahwa hubungannya dengan Tuhan yang up and down.
Usai cerita, sampai kabar kepada Nabi Syu'aib bahwa sejatinya Tuhan tengah menghukum tamunya itu. Bahwa, dia ibarat kertas putih yang sudah penuh tulisan sehingga mengubah jatidirinya dari putih menjadi hitam pekat. Begitu sering melakukan maksiat hingga tak ada ruang kosong yang dapat menjelaskan di mana posisinya di mata Allah. Semua hitam. Semuanya menghitam. Menulis dengan dengan tinta hitam di atas kertas hitam, kita tidak akan dapat pelajaran apapun.
Begitulah kondisi hamba Allah tadi. Memang dia tidak sepenuhnya meninggalkan taqarrub lewat salatnya. Sebelum adzan, dia sudah bersiap ke masjid untuk salat berjama'ah. Saat musim umroh tiba, ia termasuk yang datang ke Baytullah. Begitu Idul Qurban tiba, ia juga berkurban. Bahkan, setiap Jum'at ia tak lupa memasukkan sekian lembar rupiah ke kotak amal.
Tapi, itu semua tidak membuatnya dekat dengan Tuhan. Ia dihukum dengan cara tidak bisa memperoleh kenikmatan dalam semua ibadahnya. Hukum terberat seorang 'abid adalah apabila dia tidak bisa merasakan kenikmatan dalam ibadahnya, meski secara fiqih ia sudah memenuhi semua rukun dan syarat syahnya. Ia hanya tak kuasa memenuhi syarat diterimanya ibadah.
Mengapa ? Salah satu sebabnya, ia biasa bermaksiat di tengah-tengah taqarrub-nya kepada Allah SWT. Ia sudah berikrar untuk menempuh jalan yang sudah disiapkan oleh-Nya, tapi ia sering keluar rel, bahkan keluar dengan sengaja. Ia bertaubat tapi ia kembali ke maksiat yang sudah diakui dan ditaubati. Lama-lama ia tidak nikmat di jalan itu dan karenanya tidak dekat dengan Tuhan.
Wallaahu A'lamu Bishshowaab...
Ishaq Zubaedi Raqib
Pengasuh Pengajian "Bayt Abyadh" , Pasirangin, Cileungsi, Bogor-
*Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pembaca.
(erd/erd)