Parinem, Covid-19 dan Kemanusiaan

Kolom Ramadhan

Parinem, Covid-19 dan Kemanusiaan

Zainun Nasihah Ghufron - detikNews
Minggu, 10 Mei 2020 17:09 WIB
One Day One Hadist Keutamaan Aisyah Istri Rasulullah
Ilustrasi: Luthfi Syaban/detikcom
Jakarta -

Tema di atas terlihat tak ada hubungan antara seorang asisten rumah tangga, Parinem, Covid-19 dan Kemanusiaan. Tetapi mari kita coba simak dengan seksama hubungan tiga suku kata tersebut.

Parinem, tak ubahnya nasib sesama urban yang lain, dia adalah seorang perantau yang bekerja untuk mendapatkan selembar uang ribuan dan sesuap nasi. Keberadaannya menjadi sangat meaningful, bagi kehidupan rumah tangga di perkotaan. Karena kehadirannya sangat berperan dalam meringankan tugas domestik para ibu rumah tangga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Covid-19, baginya bukan sekadar berdampak tak bisa mudik, sehingga ia tak bisa merayakan momen lebaran bersama keluarganya. Jauh di lubuk hatinya dia selalu rindu untuk pulang. Pulang memiliki makna kembali, istirahat dan jeda dari seluruh aktivitas fisik dan tekanan-tekanan psikologis. Simak saja salah satu kisahnya disuatu hari, menjelang sholat subuh di bawah ini.

ADVERTISEMENT

"Tunggu Tuan, sebentar nyonya, saya ikut jamaah subuh", dengan tergopoh-gopoh Parinem membereskan bekas makan sahur dan aktivitas dini hari yang lainnya. Tak lama kemudian terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan di masjid sebelah komplek di mana Parinem tinggal. Untung tak dapat diraih, ketika Parinem mengambil air wudhu, sang majikan bertakbir dan berjamaah bersama keluarga besarnya.

Parinem pun tertegun, perlahan menetes air matanya, dengan lirih ia bergumam," Saya tidak pernah mengeluhkan apapun tuan, nyonya, meskipun tanganku hanya dua, kakiku juga hanya sepasang, sama seperti yang tuan dan nyonya punya. Meski kadang aku lelah, tapi aku tak kuasa bicara, aku ikhlas dengan keadaanku, karena ini adalah takdirku. Tapi tolong izinkan aku berbaur, berjamaah bersama keluarga besar ini, karena aku juga berharap pahala," sambil mengusap air matanya, dia berlalu menuju kamarnya untuk sholat sendiri.

Peristiwa di atas, bukan sekadar cerita pola atau permodelan (meminjam istilah ahli dalam isu Covid-19) hubungan antara majikan dan asisten yang dibatasi oleh strata sosial, bukan sekadar tangis dan kesedihan, bukan sekadar berharap pahala dari setiap amal baik. Lebih jauh dari semua itu, ada sisi terdalam, sisi sensitifitas kemanusiaan yang dimiliki setiap jiwa, tetapi sering terabaikan.

Aspek psikologis ini tak terbedakan hanya karena perbedaan jenis kelamin, miskin atau kaya, suku dan bangsa yang berbeda dan deretan perbedaan status sosial lainnya. Meminjam teori Maslow, kebutuhan itu adalah rasa atau keinginan untuk bahagia, keinginan untuk dihormati, dihargai dan diperlakukan sama. Parinem memang bukan siapa-siapa di mata orang-orang merasa berkelas, tapi dia tetap manusia dengan segala kediriannya.

Parinem, meski juga mengalami shock (baca: Cabin Fever), tidak akan sampai pada pemahaman, bahwa fenomena Covid-19 adalah cara Tuhan mengurangi populasi, ujian natural kecanggihan saintifik dan medis, tantangan bagi pelaku kebijakan, melihat seberapa jauh tanggung jawab moral para pemimpin, menghentikan hiruk pikuk aktivitas ragawi, menyadarkan manusia untuk memiliki kepekaan sosial serta mengembalikan manusia pada keheningan untuk bertafakur.

"Dialah Pemilik kerajaan langit dan Bumi, Dia Sang Maha Berkehendak, Maha Kuasa, dan Maha Pengatur Kehidupan".(M.Quraish Shihab, Asmaul Husna).

Parinem juga tidak tahu, bahwa Tuhan men-tajally (manifestasi) lewat Sacred text ( Al-Quran Al-Karim) dan Alam semesta (takwini) sebagai petunjuk bagi manusia, lengkap dengan guidance map, dari mana manusia melakukan spiritual journey bermula dan berakhir ( Hossein Nasr, The Garden of Truth).

Parinem sungguh manusia biasa yang pemahamannya tidak sampai pada kesadaran bahwa manusia berasal dari Jiwa yang Satu, berjalan di muka bumi sebagai musafir dan akan kembali pada asal keberadaanya (Martin lings, A Sufi Saint).

Parinem juga tidak tahu, bahwa Tuhan menciptakan manusia sebaik-baik ciptaan, memiliki keindahan struktur fisik dan batiniyah, yakni potensi intelektual (qalb) dan intelegensi (aql). Di dalam dirinya bersemayam potensi transendensi dan imanensi. Untuk itulah manusia adalah satu satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan, sebagai Imago Dei, sehingga manusia dianugerahkan amanah kekhalifahan di bumi.

Parinem benar-benar tidak tahu, bahwa secara eksistensial manusia sama dalam esensi, yang berbeda adalah pada tahapan aktualisasi dan ekspresi individual. Sehingga antara satu dan yang lain memiliki peran dan tanggung jawab berbeda (Chittick,The Sufi Path).

Di sisi yang berbeda, Parinem juga tidak tahu, kenapa manusia terkadang tidak punya kemampuan untuk membedakan yang sakral dan profan, cenderung membuat kerusakan di muka bumi serta saling bunuh membunuh, cenderung pada sisi kegelapan, attach dengan kekuasaan dan harta, sehingga manusia tergiring dan terperosok berbuat kesalahan dan dosa. Mereka adalah golongan orang-orang yang jauh dari Cahaya Petunjuk, jiwanya terjebak dalam perangkap hawa nafsu (Imam Al-Ghazali:Ihya Ulumuddin)

Ramadhan di saat covid-19 ini bisa dijadikan momentum untuk kita, belajar dari Parinem, agar menjalani kehidupan sesuai dengan dharma, sadar bahwa apapun telah Tuhan tetapkan di alam a'yan tsabitah (blue print). Sadar pada pengabdian vertikal dan tanggung jawab horizontal, serta sadar bahwa masing masing manusia memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, sehingga satu tidak lebih unggul dari yang lainnya. Kecuali Yang paling mulia di antara kalian adalah yang bertaqwa (QS:49:13).

Sadar bahwa hubungan kemanusiaan itu penting untuk menjaga harmoni dan keseimbangan. Kemanusiaan adalah hutang yang wajib ditunaikan,kemanusiaan adalah tujuan terdekat kenapa manusia diciptakan, sebagai bagian penting pertanggung jawaban kelak di alam akhirat. Sadar bahwa kehidupan dunia adalah sebuah perjalanan jiwa untuk kembali pada taman keabadian.

Manusia yang memiliki kesadaran penuh tentang dirinya dan Tuhan, akan dikembalikan ke tempat terbaik, jannah an na'im. Puncak kesadaran inilah yang disebut dengan highest consciousness, yak'ni Kesadaran Tauhid. Wallahu a'lam.

Zainun Nasihah Ghufron

Pengurus Pusat ISNU, Mahasiswa S-3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi Pemikiran Islam (Filsafat)

*Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pengirim. -Terimakasih-

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads