Beberapa pasien positif virus Corona (COVID-19) yang telah sembuh ditemukan terinfeksi untuk kedua kalinya. World Health Organization (WHO) hingga Ikatan Dokter Indonesia mengungkapkan kemungkinan penyebabnya.
Di Indonesia, sudah ada tiga kasus yang dilaporkan yakni dua warga asal Blitar yang dinyatakan positif Corona yaitu wanita berusia 37 dan 69 tahun asal Kecamatan Srengat dan Kecamatan Selopuro kembali positif usai sembuh.
Kedua, Ori Kurniawan, ajudan dari Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah (Ijek) kembali positif setelah dinyatakan sembuh dari virus Corona.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terakhir, Albertina Fransisca Mailoa yang pernah menjabat sebagai Indonesia World Miss University 2007 dan Putri Pariwisata Indonesia 2008, dinyatakan dua kali positif virus Corona.
Menindaklanjuti kasus tersebut, juru bicara WHO, ilmuwan hingga IDI menjelaskan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya.
"Di beberapa kasus seperti ini juga terjadi sehingga perlu tetap hati-hati bagi yang sembuh bisa terinfeksi kembali," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih.
Dia mengimbau agar pasien yang telah sembuh tetap menjaga jarak selama pandemi Corona.
Berikut prediksi WHO-IDi soal penyebab seseorang dua kali positif Corona:
WHO
Seorang juru bicara WHO mengungkap, seseorang yang mendapatkan hasil positif setelah sebelumnya dinyatakan sembuh dari virus Corona, kemungkinan adalah false positive.
"Sejauh yang kami tahu, dan ini berdasarkan data terkini, kelihatannya pasien tersebut mengeluarkan sisa material dari paru-paru, sebagai bagian dari fase penyembuhan," katanya kepada AFP, dikutip dari The Sun.
Lebih dari 100 orang di Korea Selatan dilaporkan kembali mendapat hasil positif dalam pemeriksaan virus Corona, setelah sempat dinyatakan sembuh. WHO maupun negara yang bersangkutan sama-sama menginvestigasi temuan tersebut.
Temuan pasien yang mendapat hasil positif untuk kedua kalinya dikhawatirkan memicu gelombang kedua wabah Corona. Bila itu terjadi, maka kemungkinan mengakhiri lockdown akan berubah.
Kemungkinan 'reinfeksi' juga bakal mempersulit proses pembuatan vaksin yang manjur. Saat seseorang sembuh dari virus Corona, tubuhnya membentuk antibodi dalam sepekan setelah infeksi. Antibodi tersebut memberi kekebalan, meski tidak jelas betul seberapa kuat dan lama kemampuannya menangkal infeksi.
IDI
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih memperingatkan pasien sembuh Corona masih bisa tertular lagi.
"Di beberapa kasus seperti ini juga terjadi sehingga perlu tetap hati-hati bagi yang sembuh bisa terinfeksi kembali," kata Daeng ketika dihubungi detikcom, Rabu (6/5/2020).
Seseorang yang kembali positif Corona disebutkan tidak akan membentuk antibodi yang spesifik. Sehingga peluang kembali terinfeksi sangat mungkin terjadi.
"Kemungkinan di tubuh tidak terbentuk antibodi yang spesifik sehingga kalau kontak lagi dengan sumber infeksi ia akan tertular atau sakit lagi," ungkap Daeng.
Daeng pun menjelaskan kasus pasien sembuh Corona yang kembali terinfeksi bukan merupakan fenomena pertama di dunia. "Mungkin (pertama di Indonesia), tapi di dunia bukan yang pertama," ujar Daeng.
"Tetap stay di rumah, pakai masker, rajin cuci tangan. Patuhi social distancing dan PSBB," kata Daeng.
Ilmuwan
Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para ilmuwan di Los Alamos National Laboratory dari Amerika Serikat (AS) mengungkap jenis mutasi virus COVID-19 yang mendominasi di seluruh dunia. Selain diyakini lebih cepat menyebar, jenis mutasi ini pun disebut sebagai penyebab seseorang rentan terinfeksi Corona kembali usai dinyatakan sembuh.
Melansir Los Angeles Times, para ilmuwan tersebut mengatakan jenis atau strain Corona ini muncul pada Februari di Eropa, lalu bermigrasi dengan cepat ke Pantai Timur Amerika Serikat. Laporan ini sudah diposting pada Kamis lalu di BioRxiv, sebuah situs web yang digunakan para peneliti untuk membagikan hasil kerja mereka sebelum ditinjau oleh rekan kerja, suatu upaya untuk mempercepat kolaborasi dengan para ilmuwan yang mengerjakan vaksin atau perawatan COVID-19.
Sebagian besar, penelitian itu didasarkan pada urutan genetik dari strain sebelumnya. Disebutkan, di mana pun strain ini muncul, virus itu dengan cepat menginfeksi lebih banyak orang daripada strain sebelumnya yang berasal dari Wuhan, China.
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, dominasi strain baru dibanding pendahulunya menunjukkan bahwa strain ini lebih cepat menular. Hingga kini virus Corona sudah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 250 ribu kasus dilaporkan meninggal dunia.
Laporan ini berdasarkan analisis komputasi pada lebih dari 6 ribu urutan virus Corona dari seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), sebuah organisasi publik swasta di Jerman. Berkali-kali, analisis menemukan bahwa strain ini sedang menyebar menjadi dominan.
Sementara itu, tim Los Alamos dibantu oleh para ilmuwan di Universitas Duke dan Universitas Sheffield di Inggris, mengidentifikasi 14 mutasi. Mutasi-mutasi itu terjadi di antara hampir 30 ribu pasangan basa RNA yang menurut ilmuwan lain merupakan genom dari virus Corona. Penulis laporan berfokus pada mutasi yang disebut D614G, yang disebut membuat adanya lonjakan virus Corona di beberapa negara.
"Ceritanya mengkhawatirkan, karena kita melihat bentuk virus yang bermutasi muncul dengan sangat cepat, dan selama bulan Maret menjadi bentuk pandemi yang dominan," kata pemimpin studi Bette Korber, ahli biologi komputasi di Los Alamos, menulis di halaman Facebook-nya.
"Ketika virus dengan mutasi ini memasuki suatu populasi, mereka dengan cepat mulai mengambil alih epidemi lokal, sehingga mereka lebih mudah menular," lanjut Korber.
Studi Los Alamos tidak menunjukkan bahwa versi baru virus lebih mematikan daripada yang asli. Namun orang yang terinfeksi dengan strain yang bermutasi tampaknya memiliki viral load (jumlah virus) yang lebih tinggi. Tetapi penulis penelitian dari University of Sheffield menemukan bahwa di antara sampel lokal 447 pasien, masa rawat inap ditemukan hampir sama antara keduanya.
Studi tersebut mengatakan meski strain baru tidak lebih berbahaya daripada yang lain, hal ini masih mempersulit upaya untuk mengendalikan pandemi Corona. Karena masalahnya orang yang sebelumnya terinfeksi tidak akan memiliki kekebalan terhadap jenis mutasi Corona baru.
"Jika memang demikian, itu dapat membuat individu rentan terhadap infeksi kedua," kata penulis penelitian.
"Ada kemungkinan bahwa mutasi mengubah lonjakan dalam beberapa cara yang membantu virus menghindari sistem kekebalan tubuh," kata Montefiori, yang telah bekerja pada vaksin HIV selama 30 tahun.
Gugus Tugas COVID-19
Ajudan Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah (Ijeck), Ori Kurniawan, kembali positif Corona. Ori diduga mengalami reinfeksi Corona.
"Iya. Ada dua kemungkinan, pertama terinfeksi ulang atau reaktivasi," kata Jubir Gugus Tugas COVID-19 Sumut, Aris Yudhariansyah, Selasa (5/5/2020).
"Kalau berdasarkan yang kita lihat kemungkinan itu terinfeksi ulang (reinfeksi)," lanjutnya.
Sementara itu, dari kasus dua warga Kabupaten Blitar sebelumnya ada yang disebut mengalami reaktivasi. Dua warga yang dinyatakan positif yakni wanita (37) asal Kecamatan Srengat dan wanita (69) asal Kecamatan Selopuro.
"Yang Srengat, ini dulunya PDP dari klaster pelatihan petugas haji dan dinyatakan sembuh pada 1 April. Hasil swab kedua negatif, keluar rumah sakit kemudian isolasi mandiri. Tapi yang bersangkutan mengalami gejala klinis lagi, dites rapid positif (reaktif). Lalu di tes swab tanggal 15 April dan hari ini hasilnya keluar terkonfirmasi positif," jelas Krisna di grup percakapan jurnalis COVID-19 Blitar, Selasa (28/4/2020).
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), Prof Amin Soebandrio, sebelumnha menjelaskan reaktivasi bisa terjadi karena virus Corona tak hanya hidup di saluran pernapasan saja, tetapi juga di berbagai macam organ tubuh lainnya. Sehingga ada virus yang tidak terdeteksi ketika pasien sudah dinyatakan sembuh.
"Reaktivasi itu berarti virus masih ada di dalam tubuh. Jadi di tenggorokan sudah tidak ada dan tidak terdeteksi, tapi mungkin virusnya masih ada di organ lain," kata Prof Amin.
"Seperti di saluran pencernaan, urine yang walaupun jumlahnya sedikit, tetapi suatu ketika dia bisa memperbanyak diri lagi," lanjutnya.
Prof Amin juga menjelaskan virus Corona bisa kembali berkembang di dalam tubuh jika pasien tersebut mengalami masalah imunitas. "Bisa berkembang kalau situasi memungkinkan, artinya kembali ke masalah imunitas pasiennya. Harusnya sih kalau kekebalan cukup itu tidak terjadi," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Amin Soebandrio mengatakan reinfeksi adalah seseorang yang terpapar Corona kembali. Hal ini bisa terjadi meski telah melakukan karantina mandiri selama dua minggu setelah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
"Kalau sistem kekebalan yang dimiliki tidak terlalu baik, maka mungkin saja dia terpapar lagi dan bisa sakit lagi," jelas Prof Amin.
Menurutnya meski seharusnya pasien yang sudah sembuh itu memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik, kemungkinan reinfeksi tetap bisa terjadi. Dikarenakan beberapa orang memiliki tidak memiliki antibodi yang cukup saat terkena paparan virus dengan jumlah yang sangat besar.
Prof Amin juga menjelaskan ada teori yang mengatakan reinfeksi bisa terjadi karena virus sudah bermutasi, sehingga kekebalan tubuh tidak mampu menahan infeksi tersebut.
"Bisa saja karena virusnya sudah bermutasi. Artinya kekebalan itu memang ada, tetapi terhadap virus yang menyerangnya pertama. Tapi virus yang menyerangnya kedua mungkin ada sedikit perubahan, jadi tidak sepenuhnya terlindungi oleh sistem kekebalan yang dia miliki," tuturnya.