Komisioner Bagian Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Choirul Anam mengatakan larangan salat di rumah ibadah di tengah pandemi Corona (COVID-19) diperbolehkan. Dari segi HAM, Anam menilai tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
"Pelarangan salat di tempat ibadah itu dalam konteks HAM itu dibolehkan, mengekspresikan ibadah boleh dikelola, dibatasi dan diatur, tapi bukan esensi agama," kata Anam dalam konferensi pers daring Komnas HAM pada Jumat (8/5/2020).
Anam menjelaskan yang dimaksud tidak keluar dari esensi beragama, contohnya tindakan mengurangi rakaat dalam salat dalam konteks ibadah umat Islam. "Yang dilarang itu salat Magrib, harusnya tiga rakaat, disuruh satu rakaat. Itu yang keluar dari esensi agama. Jadi mengekspresikan keagamaan itu boleh dikelola dan diatur batasannya," sambung dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di awal bulan Ramadhan, Komnas HAM menemukan beberapa masjid yang masih ramai dikunjungi masyarakat untuk beribadah. Adapun temuan paling menonjol di DKI Jakarta.
"Kalau temuan yang paling menonjol di DKI Jakarta. Ada juga tempat yang mengalami dinamika seperti itu. Ada yang punya takmir masjidlah, anak dari gurulah, dan sebagainya ada beberapa tempat begitu. Tapi itu skenario awal Ramadhan. Namun tidak terjadi lagi," ungkapnya.
Selain itu, Anam menyampaikan ada beberapa masjid yang masih menjalankan peribadahan tapi dengan menerapkan protokol kesehatan. "Di beberapa tempat di label kompromi, mereka menyelenggarakan ibadah tapi protokol kesehatan dijalankan. Saf tidak rapat, nah itu level kompromi," imbuh dia.
Menurut Anam, larangan beribadah harus ditegakkan, khususnya pada wilayah yang merupakan zona merah, pada masa pandemi ini. Jika tidak dilarang, Anam berpendapat, kegiatan ibadah malah dapat merugikan masyarakat sekitar.
"Nah, gimana kalau itu (termasuk) zonasi merah, apalagi diidentifikasi sebagai sentrum, itu harus dilarang. Karena itu merugikan semua ataupun merugikan keluarga yang tinggal sama jemaah itu," tutur dia.
Anam menuturkan kesadaran masyarakat akan bahaya berkumpul terkait penularan Corona perlu ditingkatkan lagi. Semisal dengan cara menunjukkan cerita-cerita pasien positif Corona yang tertular karena melakukan ibadah beramai-ramai.
"Kesadaran (masyarakat) ditingkatkan lagi, tunjukkan ada korban yang terkena COVID-19 itu dari episentrum yang lakukan ibadah. Misal, beberapa titik di Jakbar atau ada beberapa tempat terkena COVID-19. Ini bisa jadi kampanye tingkatkan kesadaran," ujar dia.
"Yang saya ceritakan itu kondisi tidak ideal, tapi secara faktual itu titik kompromi. Kita lihat apakah di daerahnya zona merah, kalau merah, harus ditutup. Nggak boleh salat di situ. Itu level bagaimana satu sanksi dilaksanakan," tambah dia.
Sementara itu, untuk wilayah yang belum berstatus zona merah, Anam mengatakan dapat diterapkan kebijakan yang sifatnya kompromi. Semisal membatasi kapasitas jemaah.
"Kalau level kompromi boleh dilakukan. Ini butuh kesadaran semua. Karena banyak masjid ditutup, kapasitas masjid hanya 50 jemaah jaga jarak ya, nggak boleh lebih. Bikin saja gelombang jemaah kloter-kloter gitu. Itu kan nggak apa-apa. Itu level kompromi, bukan ideal," tandas dia.