Pihak Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bahkan tak ragu menyebut apa yang terjadi di kapal itu sebagai perbudakan, pelanggaran HAM berat. Pengacara dari lembaga non-pemerintah yang mengadvokasi para ABK WNI itu, yakni Advokat untuk Kepentingan Publik (APIL), menyebut ini hanyalah pucuk gunung es dari pelanggaran HAM.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui untuk memahami isu eksploitasi ABK WNI di kapal China, dihimpun detikcom hingga Jumat (8/5/2020):
Sebenarnya, berita mengenai pelarungan jenazah ABK WNI dari kapal berbendara China sudah tersiar sejak awal tahun 2020 ini. Hanya saja, belakangan publik Indonesia terkesiap gara-gara kasus di awal tahun itu ternyata bukan satu-satunya, diungkap oleh media Korea Selatan MBC News.
Ternyata ada tiga jenazah ABK WNI yang dilarung ke laut, semuanya adalah ABK WNI dari kapal Long Xing 629, meski ada pula yang sempat berpindah ke kapal lain sebelum akhirnya meninggal dunia dan dilarung ke laut. Ada satu lagi ABK WNI dari kapal Long Xing 629 yang meninggal dunia, namun tidak meninggal dunia di tengah laut melainkan di Busan, Korea Selatan.
MBC News mengabarkan, tiga orang ABK WNI yang meninggal dunia dan jenazahnya dilarung ke laut adalah Alfata (19), Sepri (24), dan yang terbaru adalah Ari (24). Satu lagi, inisial EP, meninggal beberapa hari setelah berhasil mencapai Busan Korsel, 24 April.
"Yang bersangkutan akhirnya meninggal dunia pada tanggal 29 April, dan meninggal karena didiagnosa penyakitnya pneumonia. Ini jenazah almarhum sedang kami urus, insyaallah segera bisa dipulangkan ke tanah air dalam waktu tidak terlalu lama," kata Duta Besar Indonesia untuk Korsel, Umar Hadi, Kamis (7/5).
2. Eksploitasi: Jam Kerja Panjang, Gaji Kecil, Minum Air Laut
Meski isu pelarungan jenazah ABK WNI sempat mencengangkan, namun sebenarnya ini bukan isu pelarungan semata, melainkan ada isu eksploitasi manusia yang mengarah ke perbudakan.
Dua lembaga non-pemerintah mengadvokasi para WNI ini, yakni Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) dan Advokat untuk Kepentingan Publik (APIL). EJF merilis keterangan di situs mereka, Rabu (7/5)
- Kerja 18 s/d 30 jam
EJF menduga awak senior kapal tersebut telah melakukan kekerasan fisik setidaknya kepada dua ABK asal Indonesia. Mereka bekerja 18 jam sehari, dan pada keadaan tertentu bisa bekerja dua hari tanpa istirahat. MBC News menyampaikan dalam liputan eksklusifnya, salah satu ABK mengaku bekerja 30 jam dan hanya boleh istirahat setiap 6 jam sekali.
"Waktu kerjanya, jadi kayak berdiri itu sekitar 30 jam, dan setiap 6 jam makan, dan jam makan inilah yang dimanfaatkan kami, hanya untuk duduk," kata salah seorang ABK WNI kepada MBC News.
- Gaji kecil
Berdasarkan kontrak kerja mereka, kebanyakan dari ABK setuju untuk bekerja dengan gaji bulanan USD 300 atau sekitar Rp 4.553.100,00 untuk kurs saat ini. Namun kenyataannya, banyak dari mereka yang dibayar USD 1 per hari atau USD 42 per bulan, sekitar Rp 637.434,00 per bulan untuk kurs saat ini.
Duit sekecil itu juga masih dipotong biaya perekrutan dan uang keamanan. Maka dapat dikatakan, mereka dibayar sekitar USD 300 (Rp 4,5 juta) untuk setahun. Gaji tiga bulan pertama ditahan untuk biaya potongan. Ini adalah laporan yang dilansir organisasi nonpemerintah yang mengadvokasi para ABK WNI, EJF.
Namun MBC News melaporkan dalam liputan eksklusifnya, gaji yang diterima ABK WNI lebih kecil lagi. Lima ABK WNI sudah bekerja selaam 13 bulan dan hanya menerima 140.000 Won/ USD 120 atau sekitar Rp 1,7 juta untuk kurs saat ini. Bayangkan, Rp 1,7 juta untuk kerja berat setahun lebih! Bila dihitung-hitung, setiap bulan mereka mendapat 11.000 Won saja atau sekitar Rp 135.066,00. Paspor-pun ditahan pihak kapal.
- Minum air laut
Ada dugaan diskriminasi di sini. ABK WNI tidak diberi air minum selayaknya ABK China. ABK Indonesia disuruh minum air laut yang telah melalui proses penyaringan, namun efeknya membuat pusing kepala dan memunculkan dahak dari tenggorokan. ABK China bisa minum air mineral kemasan botol.
Para ABK menghubungkan kematian rekan-rekannya itu dengan kondisi kerja di kapal yang buruk, termasuk kualitas air yang mereka minum.
- ABK sakit, kapten kapal ogah sandar
Kapten kapal dilaporkannya menolak untuk sandar ke pelabuhan supaya para WNI mendapat pertolongan medis. Kapal tetap berada di lautan selama setahun tanpa sandar di pelabuhan.
Penyintas kapal pembuang jenazah melaporkan bahwa para korban tewas mengalami bengkak-bengkak, sakit di dada, dan kesulitan bernapas selama beberapa pekan sebelum meninggal dunia.
3. Dugaan Pencarian Ikan Ilegal
Dalam isu ini, kapal yang menjadi sorotan utama adalah kapal Long Xing 629. Kapal tersebut berjenis kapal longline, teregistrasi sebagai kapal pencari ikan tuna. Namun diduga ada pencarian ikan ilegal yang dilakukan kapal ini.
Ada Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) yang turut mengadvokasi para penyintas kapal China itu. Dalam situsnya, EJF menyampaikan kapal itu berburu hiu yang dilindungi. Mereka mengambil sirip hiu.
Foto yang ditunjukkan para ABK memperlihatkan hiu-hiu itu termasuk jenis yang terancam punah, antara lain hiu martil dan hiu koboi (oceanic whitetip).
Perburuan sirip hiu oleh kapal China. (Sumber: situs EJF) |
4. Ada 14 WNI Selamat
Ada 15 ABK WNI dari kapal Long Xing 629 yang akhirnya dioper ke kapal lain dan berhasil sandar di Busan Korsel, pada 24 April. Namun sayang seribu sayang, 1 dari 15 WNI itu meninggal dunia.
14 Orang yang selamat menjalani 14 hari masa karantina virus Corona di Busan. Mereka dalam keadaan sehat walafiat dan bakal segera pulang ke Tanah Air.
5. Lapor ke Korsel
Para ABK WNI yang selamat di Busan Korsel telah melaporkan pihak kapal penangkap ikan itu ke otoritas setempat. Kini, pihak Korea Selatan juga sedang menindaklanjuti laporan eksploitasi di kapal Long Xing 629 itu.
"Mereka telah menyampaikan pengaduan yang difasilitasi oleh LSM dan LBH, pengacara-pengacara probono yang berada di kota Busan, yang biasa membela hak-hak buruh," kata Duta Besar Indonesia untuk Koresa Selatan, Umar Hadi, dalam keterangan yang diterima detikcom, Rabu (7/5).
6. Kronologi
Kronologi ini merupakan gabungan dari keterangan Menteri Luar Negeri RI Retno Lestari Priansari Marsudi, dengan materi yang disampaikan EJF.
Awal 2019: para WNI termasuk 4 orang yang kini meninggal mulai bekerja di kapal Long Xing 629
21 Desember: ABK WNI bernama Alfata/Alfatah meninggal dunia. Kemudian ABK WNI bernama Ari meninggal beberapa hari setelah dipindahkan dari kapal Long Xing 629 ke Long Xing 802.
26 Maret: ABK inisial AR sakit, dipindahkan dari kapal Long Xin 629 ke kapal Tyan Yu Nomor 8 untuk dibawa berobat ke pelabuhan.
27 Maret: AR dinyatakan meninggal dunia.
31 Maret: Jenazah AR dilarung sekitar pukul 08.00 waktu setempat. Dari informasi yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberi tahu pihak keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan di laut tertanggal 30 Maret 2020, pihak keluarga sepakat menerima kompensasi kematian dari kapal Tyan Yu 8.
14-16 April: KBRI Seoul telah menerima info adanya kapal Long Xin 605 dan Tyan Yu 8 berbendera China yang akan berlabuh di Busan, Korsel
Menlu Retno Marsudi Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
23 April: WNI di Long Xin 605 dan Tyan Yu 8 tertahan karena di dalamnya ada orang yang tidak terdaftar sebagai ABK, termasuk ABK WNI yang sebelumnya dioper dari kapal Long Xin 629.
24 April: 15 ABK yg terdaftar di Long Xin 629 dapat diturunkan dari kapal atas dasar kemanusiaan dan saat ini dikarantina di salah satu hotel di Busan selama 14 hari.
27 April: ABK WNI berinisial EP dinyatakan meninggal di RS Busan pukul 06.50. Dia meninggal karena pneumonia. EP merupakan 1 di antara 15 ABK yang bekerja di kapal Long Xin 629.
7. Langkah Indonesia
Menlu RI Retno Marsudi meminta Coast Guard Korea Selatan ikut melakukan investigasi terhadap Kapal Long Xin dan Tyanyu. RI meminta meminta bantuan pemerintah China untuk mengusut dugaan adanya eksploitasi ABK WNI di kapal itu, caranya yakni lewat penyelidikan.
RI sendiri juga akan berusaha menyelidiki dan mendapatkan klarifikasi terkait pelarungan jenazah ABK WNI. Bila melanggar aturan sesuai Organisasi Buruh Internasional (ILO), maka RI berharap China menegakkan hukum secara adil.
RI meminta dukungan pemerintah Tiongkok untuk membantu pemenuhan tanggung jawab perusahaan atau hak para awak kapal Indonesia, termasuk pembayaran gaji yang belum dibayarkan dan kondisi kerja yang aman.
Retno mengatakan pemerintah juga berupaya memulangkan 14 ABK WNI dan 1 jenazah ABK WNI yang masih berada di Korsel. Pemulangan jenazah dilakukan pada Jumat (8/7) hari ini.