Jiwa Bermitra, Teladani Rasul

Kolom Ramadhan

Jiwa Bermitra, Teladani Rasul

Abdurachman - detikNews
Kamis, 07 Mei 2020 12:28 WIB
ilustrasi nabi muhammad
Foto: iStock
Jakarta -

Tarawih, berjemaah, atur shaf lurus dan rapat agar tidak diisi oleh syaithan, sekarang dijauhkan. Dimana pun muslim berdomisili, sebagian besar mereka di akhir ramadhan ada ritual mudik lebaran, sekarang harus ditahan. Biasa silaturahim berkunjung bersalaman sekarang dilarang. Keadaan yang tak pernah terbayangkan. Physical distancing, berjarak fisik demi musuh yang tak pernah mau mengerti perdamaian.

Kantor sepi, jalanan lengang, swalayan tak berpengunjung. Tempat wisata sunyi, hiburan terhenti. Shalat lima waktu sendiri-sendiri, tadarus sendiri-sendiri, bahkan hampir seluruh kegiatan sendiri-sendiri, tidak boleh berdekatan fisik. Semua dilarang berdekatan fisik, demi Corona agar tidak terus berpetualang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jiwa Bermitra

ADVERTISEMENT

Ada kawan yang menyayangi, siapa pun senang. Ada kawan yang membantu terutama di saat paling dibutuhkan, rasanya jiwa bisa terbang. Terbang mengelana di surga karena bahagia yang tiada kepalang. Pada saat seseorang membutuhkan sesuatu yang sangat vital (bisa mati jika tak dipenuhi) maka datangnya pertolongan mengalahkan kebahagiaan datangnya para pejabat tertinggi negeri, jika datangnya pejabat tidak mengubah keadaan.

Kebutuhan seorang kepada kawan, sejatinya kebutuhan seseorang kepada dirinya sendiri karena manusia sejatinya bermitra. Jika kawan senang, demikian juga diri ini. Siapa pun sangat senang siapa saja yang datang jika bisa memudahkan terpenuhinya kebutuhan, terutama kebutuhan pangan.

Berjarak fisik mewajibkan sekian besar jumlah perusahaan merumahkan karyawan. Physical distancing, menjadikan sejumlah instansi terpaksa memutus hubungan kerja (PHK) sejumlah besar pegawai. Berjauhan fisik memaksa para buruh harian kelimpungan mencari pintu terbuka demi menutup kebutuhan perut akan makanan.

Sepintas terbayang jumlah besar mereka kawan dan saudara sebangsa berada di batas himpitan. Terdesak memenuhi kebutuhan vital diri dan keluarga. Siapa yang siaga menyandang?

Nabi Muhammad saw. pada suatu hari didatangi tamu dari jauh. Tidak lama berselang tamu itu mengutarakan maksud kedatangannya kepada Nabi. Di samping butuh menginap untuk malam itu, dia lapar belum makan. Sementara bekalnya sudah tiada.

Tidak seperti biasanya, kebetulan Nabi saw sedang tidak siap dengan makanan di rumah. Lalu demi pantang menolak permohonan orang lain yang membutuhkan Nabi saw menanyakan para sahabat, adakah di antara kalian yang berkenan menjamu tamu Rasulullah saw?

Satu di antara sahabat segera mengacungkan tangan, menyambut tawaran Rasulullah dengan penuh antusias. Dialah Abu Thalhah al-Anshari. Ia mengajak tamu Nabi ke rumahnya.

Sesampai di rumahnya, ia meminta Ummu Sulaim istrinya, untuk menjamu tamu itu dengan baik.

Namun sayang, di rumah Abu Thalhah pun juga sedang tidak siap menjamu tamu, tidak ada makanan untuk tamu. Yang ada hanyalah makanan untuk kebutuhan putra mereka untuk malam ini saja. "Kita tidak punya apa-apa, hanya ada makanan. Itu pun hanya untuk anak kita," Ummu Sulaim berbisik kepada suaminya.

Segera saja timbul ide Abu Thalhah. Ia meminta istrinya untuk segera mengajak putranya tidur lebih awal agar pada malam itu tidak merasa lapar. Abu Thalhah meminta istrinya menghidangkan makanan jatah putra mereka kepada tamu. Sementara beliau meminta ijin kepada tamu untuk menemani istrinya makan di ruang dalam.

Kemudian tamu dipersilahkan makan. Tamu dalam keadaan lapar dan menyantap makanan dengan lahap, tampak penuh rasa syukur. Tamu pun tidak tahu bahwa Abu Thalhah dan keluarganya kelaparan, tidak makan.

Rasulullah saw menemui Abu Thalhah pada pagi harinya. Beliau sudah tahu apa yang dilakukan oleh Abu Thalah dan keluarganya. Beliau bersabda, "Allah swt kagum kepada apa yang kalian lakukan tadi malam," wajah Nabi saw penuh berseri.

Itsar, itulah yang dilakukan keluarga Abu Thalhah. Itulah sikap lebih mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan dirinya. Untuk itu Allah swt sangat senang. Allah memuji orang-orang yang memiliki kepedulian sampai pada tingkat demikian, "...dan mereka mengutamakan (Muhajirin/orang lain) atas diri mereka, meskipun mereka sendiri juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS 59:9)

Hakikat shiyam (puasa) adalah menahan nafs. Nafs bermakna diri. Jadi shiyam adalah menahan diri, menahan aku, menahan ego, demi menyempurnakan manfaat bagi yang lain, itsar. Islam mengharuskan Nabi-Nya memberikan contoh menjadi rahmatan lill 'aalaamiin, rahmat bagi semesta.

Kalau begitu, siapa pun yang telah bersyahadat, "Saya bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah, utusan Allah, maka saya bersumpah akan meneladaninya, berarti telah bersumpah untuk menjadi salinan Nabi saw. Syahadat berarti sumpah meneladani Nabi saw. dalam batas sesuai kemampuan menjadi rahmat bagi semesta.

Puasa ramadhan kali ini, mengondisikan para pribadi menyaksikan keterhimpitan saudara dan kawan, akibat keharusan berjarak fisik. Ini meminta pelaksana puasa menunjukkan jati diri, yaitu kesesuaian sumpah syahadatnya. Dalam kewajiban berjarak fisik, benarkah jiwa para pelaksana puasa tetap bermitra, untuk kokoh meneladani Nabi saw. menjadi rahmat bagi semesta, sesuai kemampuan dan kesanggupan? Mari kita buktikan dengan memanggul kebutuhan vital siapa pun kawan dan saudara sebangsa, terlebih keluarga!

Abdurachman

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ Takmir Masjid Unair

*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pembaca

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads